Ketika Cinta Berhadapan dengan Kenyataan

8 hours ago 3

Image Sarah Sahilah

Sastra | 2025-05-25 17:55:47

Novel “Student Hidjo” karya Mas Marco Kartodikromo merupakan salah satu karya penting dalam sejarah sastra Indonesia yang ditulis pada masa penjajahan Belanda. Novel ini bukan hanya menyajikan kehidupan seorang pelajar jawa di Eropa, tetapi juga menggambarkan pertemuan antara cinta dan kenyataan sosial yang rumit. Dengan gaya naratif berupa surat dan kisah berbingkai, Student Hijdo menyuarakan betapa beratnya menjalani cinta di tengah batas-batas kelas, ras, dan budaya kolonial. Dalam tulisan ini, akan dibahas bagaimana cinta dalam novel ini bukanlah sekadar urusan hati, tetapi juga pertarungan dengan realitas yang keras.

Cinta dalam batas kolonial

Hidjo adalah pemuda Jawa dari kalangan terpandang yang diberangkatkan ke Belanda untuk belajar. Di Delft, ia tinggal di rumah orang Belanda dan berkenalan dengan Betje, anak perempuan dari keluarga tempat ia tinggal. Kedekatan mereka berkembang menjadi hubungan cinta. Betje digambarkan sebagai gadis Belanda yang baik hati dan terbuka, sedangkan Hijdo, meskipun masih terikat denga nilai-nilai Jawa, perlahan mulai larut dalam budaya Eropa.

Namun, hubungna ini tidak bebas dari bayangan kolonialisme. Betje dan Hidjo hidup dalam struktur sosial yang tidak setara. Hidjo adalah seorang pribumi, dan meskipun sedang menempuh pendidikan tinggi di Eropa, ia tidak dipandang setara dengan pemuda Belanda. Bahkan, perasaan Betje terhadap Hidjo pun akhirnya terbentur oleh norma sosial dan rasial yang tidak bisa mereka langgar. Cinta mereka tidak mendapat pengakuan, dan akhirnya harus dikorbankan. Hidjo juga dibayangi rasa bersalah terhadap biru, tunangan yang ia tinggalkan di Hindia. Pergulatan batin ini membuatnya sadar bahwa cinta, seindah apapun, tidak selalu menang pada kenyataan.

Keputusan Hijdo untuk kembali ke Hindia dan menikah dengan Raden Ajeng Wungu, perempuan yang dipilihkan oleh keluarganya, menjadi titik balik. Ini menunjukan bahwa cinta tidak cukup kuat melawan realitas sosial yang mengikat mereka. Betje harus menerima bahwa alam sistem kolonial, cinta antarras seringkali berakhir sebagai pengkhianatan terhadap tahanan masyarakat yang kaku.

Cinta yang menanti dalam diam

Di tanah air, Hidjo telah bertunangan dengan Raden Ajeng Biru sebelum ia berangkat ke Belanda. Biru adalah perempuan Jawa yang dikenal lemah lembut dan penuh kesetiaan. Salama Hidjo di Belanda, biru tetap setia, meskipun ia tidak tahu pasti apakah Hidjo masih mengingat janjinya. Sekian lamanya, Biru menanti kepulangan Hidjo tanpa kabar yang pasti. Sementara itu, Raden Wardoyo, sahabat karib Hidjo, diam-diam menaruh hati pada Biru. Wardoyo, meski tahu hubungan Biru dan Hidjo, tetap mencintainya dalam diam dan bersikap hormat. Lambat laun, Biru dilema, apakah harus tetap memegang janji kepada seseorang yang jauh dan mungkin telah berubah, atau menerima cinta baru dari seseorang yang nyatanya hadir? Pada akhirnya, Biru menikah dengan Wardoyo. Keputusan ini bukan semata pengkhianatan, melainkan bentuk penerimaan terhadap kenyataan.

Cinta sebagai titik pulang

Setelah menerima dan membaca surat dari ayahnya, Hidjo mengetahui bahwa ia akan dinikahkan dengan Raden Wungu, adik dari Wardoyo. Tidak seperti hubungan cintanya yang terhalang atau terpaksa, Hijdo menyambut perjodohan ini dengan senang hati. Ia bahkan berkata pada dirinya sendiri bahwa Wungu adalah “Seorang gadis bangsawan yang telah kukenang-kenangkan sejak saya pertama kali melihatnya” Marco menggambarkan penerimaan Hidjo atas perjodohan ini bukan sebagai bentuk kepasrahan buta, melainkan keputusan sadar yang lahir dari pengertian dan keikhlasan. Hidjo melihat kemungkinan untuk bahagia bersama Wungu. Ia menyatakan, “sudah tentu saya merasa hidup senang di dunia. Dan Wungu pun akan menjadi istriku sampai mati.” Cinta dalam hubungan ini bukan karena bebas memilih, tetapi karena adanya kesesuaian batin dan ketulusan untuk menjalani hidup bersama.

Novel “Student Hidjo” memperlihatkan bahwa cinta, meskipun terasa sebagai hal pribadi, tak pernah lepas dari pengaruh luar seperti ras, status, adat, dan struktur kekuasaan. Betje dan Hidjo gagal karena kolonialisme. Biru dan Wardoyo serta Hidjo dan Wungu bersatu karena berawal dari tradisi, tetapi mereka bersedia menerima cinta sebagai jalan tengah hidup antara keinginan pribadi dan kewajiban sosial. Marco Kartodikromo tidak menyajikan cinta sebagai kisah dongeng, tetapi sebagai kenyataan yang harus dirundingkan. Cinta dalam “Student Hidjo” adalah cinta yang tidak bebas, tetapi tetap tulus dalam batasannya. Cinta tumbuh dari pengertian, bukan hanya hasrat. Dan dari situlah kekuatan sesungguhnya dari kisah ini berasal.

Melalui novel “Student Hidjo,” Marco Kartodikromo mengajak para pembaca merenungkan bahwa cinta bukanlah sekadar urusan hati dua insan, melainkan medan tarik-menarik antara identitas, kuasa, dan harapan sosial. Cinta dalam novel ini tidak pernah berdiri sendiri, selalu bernegosiasi dengan batas-batas yang ditetapkan oleh kolinialisme, adat, dan status. Ketika cinta antara Hidjo dan Betje kandas, bukan karena kurangnya kasih sayang, tetapi karena kekuasaan yang tidak memberi ruang bagi kesetaraan. Ketika Biru dan Wardoyo, dan Hidjo memilih Wungu, itu bukan kemenangan cinta yang bebas, melainkan bentuk kedewasaan dalam mengahadapi kenyataan.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |