Minimalisasi Dampak Negatif Konten Digital, Masyarakat Dinilai Perlu Pahami Digital Wisdom

7 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Terbukanya akses internet membuat anak-anak dan remaja mudah mendapatkan segala informasi. Walaupun dirasakan banyak manfaatnya, derasnya arus informasi ibarat pedang bermata dua. Jika gagal dalam mengelola informasi atau berita yang berkembang, dikhawatirkan generasi muda yang relatif lebih rentan mengonsumsi narasi secara mentah akan terjerumus pada tindakan intoleransi.

Membahas cara menyikapi dampak negatif dari mudahnya mengakses konten digital, seorang akademisi dari Sekolah Tinggi Agama Kristen (STAK) Marturia Yogyakarta, Pdt. Risang Anggoro Elliarso, menyoroti pentingnya memahami cara kerja algoritma konten digital. 

Menurutnya, media sosial seperti Facebook, YouTube, TikTok, Instagram, dan lain sebagainya memiliki algoritma yang didesain untuk membantu penggunanya mendapatkan konten yang sesuai dengan preferensinya. Pada dasarnya, ide ini memang bertujuan membantu memenuhi kebutuhan si pencari informasi. Namun, belakangan mulai disadari bahwa algoritma ini juga menciptakan apa yang disebut sebagai echo chamber effect. 

“Hal ini berarti bahwa orang hanya terpapar konten-konten yang sesuai dengan apa yang mereka sukai, dan hal ini memainkan peran besar sehingga keyakinan apapun yang awalnya telah terbentuk menjadi semakin kuat. Akibatnya, mereka merasa bahwa pemikiran, perasaan, dan apa yang mereka pahami adalah yang paling valid dan benar. Padahal, di luar sana ada banyak pemikiran dan pandangan lain. Namun, karena echo chamber effect yang didorong oleh algoritma ini sangat kuat, narasi yang berbeda sebagai pembanding sulit untuk ditemui,” terang Pdt. Risang di Yogyakarta, Rabu (9/7/2025).

Ia berpendapat, sebagai upaya meminimalisasi dampak negatif dari sebaran konten digital, ada tiga hal yang perlu dipahami oleh masyarakat luas. Pertama, adalah digital wisdom atau kearifan digital. Pengguna internet seringkali hanya memahami sampai pada literasi digital yang paling dasar. Publik harus bisa naik level sampai kecerdasan digital, bahkan kearifan digital, agar penggunaan dunia digital membawa kemaslahatan bagi bangsa dan kemanusiaan.

Kedua, terkait cyber hate, masyarakat luas perlu mengembangkan critical thinking bagi generasi muda. Dalam piramida penalaran, intuitive thinking itu paling rendah, hanya mengenali atau menghafal informasi. Di atasnya ada analytical thinking, yaitu membedah unsur informasi dan validitasnya. Namun, itu belum cukup. Publik Indonesia harus naik ke critical thinking, di mana kita bisa mempertanyakan informasi, mengidentifikasi misinformasi, disinformasi, atau malinformasi. Kita perlu naik level karena saat ini kita sering kewalahan oleh arus informasi yang sangat deras.

“Ketiga, kita juga butuh metacognition, yaitu kesadaran akan proses berpikir dan perasaan kita saat menerima informasi digital, terutama di media sosial. Misalnya, kita perlu sadar ketika marah, jengkel, atau tertarik pada suatu informasi, lalu bertanya kenapa kita merasakan itu, dan meregulasi respons kita terhadapnya. Ini bagian dari critical thinking dan digital wisdom,” imbuh Pdt. Risang.

Dirinya juga menyayangkan perihal kerusuhan yang terjadi saat retret sekelompok pelajar Kristiani di Cidahu, Sukabumi. Pdt. Risang berpendapat bahwa kejadian tersebut menunjukkan pentingnya Indonesia untuk tidak hanya bisa bertoleransi, namun juga melangkah jauh untuk melampaui toleransi itu sendiri.

Pdt. Risang yang juga aktif bertugas di GKJ Condongcatur ini menjelaskan, toleransi itu penting, tapi ia punya batasan. Menurutnya, toleransi itu baru sebatas 'saya mentolerir keberadaan Anda, sejauh Anda tidak mengganggu dan bukan ancaman bagi saya.' Selama tidak saling bersinggungan, tidak masalah. Namun, dalam kenyataan hidup, sesama manusia pasti bersentuhan dan bersinggungan, sehingga konflik kepentingan bisa muncul kapan dan dimana saja.

“Oleh karena itu, kita perlu melangkah lebih jauh, yakni menuju persahabatan. Persahabatan di mana umat dari agama lain kita sambut sebagai sahabat, bukan sekadar ditolerir atau dibiarkan. Keberadaan mereka dan aktivitas ibadah mereka harus didukung karena dari situ kita bisa belajar akan pentingnya kebersamaan dalam keberagaman,” ungkap Pdt. Risang yang juga menjadi dosen di Universitas Gajah Mada ini.

Read Entire Article
Politics | | | |