
KUNINGAN – Peringatan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) di Kabupaten Kuningan larut dalam harmoni angklung yang dimainkan secara kolosal, di Lapangan Stadion Mashud Wisnusaputra, Jumat (2/5/2025).
Tak hanya para guru dan pelajar, pertunjukan angklung itu juga diikuti oleh bupati dan wakil bupati Kuningan, sekda Provinsi Jabar, Forkopimda dan lainnya. Penampilan tersebut menjadi momen istimewa yang menguatkan identitas Kuningan sebagai Kabupaten Angklung.
Penampilan kolosal itu dipandu oleh Fendi, seorang guru sekaligus warga asal Kelurahan Citangtu. Ia dikenal sebagai salah satu pelopor angklung diatonis, jenis angklung yang dapat memainkan tangga nada lengkap seperti alat musik modern.
Scroll untuk membaca
Scroll untuk membaca
Fendi mengawali dengan menyampaikan bahwa angklung ada tanda-tandanya, yakni (titik) angka 1 2 3 4 5 6 1.
“Tangan kiri memegang angklung sebelah atas, tangan kanan memegang bagian bawah,” katanya.
Lagu “Terpujilah Guruku” dan “You Raise Me Up” pun mengalun merdu, diiringi goyangan angklung yang dimainkan para peserta. Suasana penuh khidmat dan haru juga mewarnai momen tersebut, terlebih saat para peserta tampak bergerak serempak mengikuti irama angklung.
Bupati Kuningan, Dian Rachmat Yanuar, yang juga dikenal sebagai penggagas Kuningan sebagai Kabupaten Angklung Diatonis, memberikan apresiasi tinggi atas penampilan para guru dan pelajar.
“Harmoni angklung ini menggambarkan semangat kolaborasi dalam dunia pendidikan yang menyatukan dengan kearifan lokal yang kita jaga bersama,” ungkapnya.
Menurutnya, kegiatan tersebut bukan sekedar pertunjukan. Namun, bentuk ekspresi budaya dan pendidikan karakter melalui seni.
Ia menyatakan, angklung menjadi medium kebersamaan yang mampu menyatukan lintas generasi. Sekaligus menjaga dan merawat sebagai khazanah kearifan lokal, juga kekayaan bangsa.
Sebelumnya, angklung tidak bisa dimainkan bersamaan dengan musik kontemporer seperti musik Pop, Jazz ataupun rock seperti saat ini. Angklung hanya bisa mengikuti jenis nada pentatonik seperti gamelan, gambang kromo dan lain sebagainya.
Namun pada 1938, Daeng Soetigna, seorang guru SMP 1 Kuningan, berguru kepada kuwu Citangtu bernama lengkap Muhammad Sotari atau yang biasa dikenal dengan nama Pak Kucit, menciptakan angklung dengan tangga nada diatonis. Daeng Sutigna, belajar membuat angklung, mulai dari memilih bambu yang tepat, sampai menyesuaikan nadanya hingga pas, kepada pak Kucit, pada masa itu.
Angklung inovasi tersebut berbeda dengan angklung pada umumnya yang berdasarkan tangga nada tradisional pelog atau salendro.Tangga nada diatonis adalah tangga nada yang mempunyai dua jarak tangga nada, yakni satu dan setengah.
Jenis tangga nada Diatonis itu sering ditemukan pada musik-musik modern atau kontemporer. Karya angklung diatonis inilah yang berhasil mendobrak tradisi, membuat alat musik tradisional Indonesia mampu memainkan musik-musik Internasional. (Lilis Sri Handayani)