Pelajar mengoperasikan laptop jenis chromebook buatan lokal bermerek Zyrex M432-2 di salah satu SMA di Jakarta, Selasa (3/6/2025). Laptop jenis chromebook yang merupakan pengadaan dari Kemendikbud Ristek tahun 2019-2023 tersebut masih digunakan sebagai alat cadangan untuk kebutuhan Asesmen Nasional Berbasis Komputer (ANBK) para pelajar. Meski demikian, alat tersebut dinilai masih belum dapat memenuhi kebutuhan pelajar dalam meningkatkan kompetensi digital seperti pelatihan desain hingga multimedia, mengingat kapasitas memory dan kualitas laptop jenis chromebook tersebut masih terbatas. Program digitaliasi pendidikan dengan pengadaan chromebook tersebut kini terseret dalam penyidikan yang dilakukan oleh Kejagung untuk ditelisik dugaan korupsi pengadaan chromebook dengan total anggaran mencapai Rp9,9 triliun sepanjang tahun 2019-2023.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono
Belanja laptop chromebook hanya salah-satu objek pengusutan korupsi program digitalisasi pendidikan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang saat ini ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Namun, pengadaan komputer jinjing untuk siswa-siswa sekolah tersebut, menjadi kasus dengan kerugian negara yang terbesar dalam penyelidikan pada era Menteri Nadiem Makarim itu.
Terungkap temuan tim penyidikan di Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) harga satuan laptop itu cuma Rp 5 sampai 7 juta per unit. Namun Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan, tim penyidikan menemukan adanya penggelembungan nilai Rp 10 juta lebih per unitnya.
“Bagaimana itu tidak jadi masalah (korupsi), karena dalam pengadaannya itu, barang yang harganya kira-kira antara (Rp) 5 sampai 7 juta, tetapi dibayarnya 10 juta (per unit) chromebook-nya itu,” kata Harli saat ditemui di Kejagung, Jakarta, Selasa (3/6/2025).
Harli menerangkan, dalam penganggaran chromebook itu, pun bermasalah. Menurut dia, mengacu penyidikan, didapati program digitalisasi pendidikan oleh kementerian itu setotal Rp 9,9 triliun. Termasuk di dalamnya untuk pengadaan laptop chromebook tersebut.
Sumber anggaran itu Rp 3,82 triliun dari Dana Satuan Pendidikan (DSP), dan Rp 6,39 triliun yang bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAK) yang semestinya menjadi pintu keuangan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. “Yang menjadi bermasalah kan juga di DAK. Karena dana itu kan ditransfer ke daerah-daerah untuk membeli chromebook itu melalui vendor-vendor yang sudah ditentukan (oleh kementerian),” ujar Harli.
Dalam penentuan vendor-vendor itu, kata Harli, juga menjadi pangkal utama tindak pidana korupsi dalam program dan pengadaan tersebut. Karena kata Harli, penyidik menyimpulkan adanya kesepakatan-kesepakatan yang sengaja dilakukan untuk mengarahkan ke pihak-pihak tertentu.
“Jadi dia ini diarahkan kepada vendor-vendor tertentu yang kita sudah sebut diawal, bahwa ada persekongkolan di situ, ada permufakatan jahat untuk melakukan perbuatan itu,” ujar Harli. Padahal, kata Harli, uji coba program digitalisasi pendidikan melalui pengadaan laptop chromebook tersebut sudah dilakukan pada 2020.