loading...
Hanna F Fauzie, Jurnalis, Pemerhati Isu Internasional, Pecinta Sepak Bola. Foto/Dok.Pribadi
Hanna F Fauzie
Jurnalis, Pemerhati Isu Internasional, Pecinta Sepak Bola
Gelar Melayu Serumpun menjadi contoh nyata kolaborasi budaya bisa mempererat kepercayaan antaranegara—people to people diplomacy yang tak tertulis dalam perjanjian, tapi terpatri dalam relung batin.
Di tengah panggung megah Istana Maimun yang sarat sejarah, suara alat musik gambus dan lenggak-lenggok tarian zapin mewarnai Kota Medan pada 21–24 Mei 2025. Gelar Melayu Serumpun ke-8 bukan sekadar pertunjukan seni.
Selama empat hari, pengunjung disuguhi beragam penampilan seperti tari Zapin, Dabus, Mak Yong, musik Gambus, hingga peragaan busana dan kuliner khas Melayu. Namun, yang lebih penting adalah momen di balik layar: ketika seniman dari berbagai negara berdiskusi, saling belajar, dan merancang kolaborasi jangka panjang.
Di sinilah soft diplomacy bekerja: tanpa tekanan politik, tanpa protokol kaku, hanya dengan kesamaan nilai dan kebersamaan. Tidak ada meja negosiasi, tapi ada lingkaran pertunjukan, meja makan bersama, dan tawa akrab antar generasi.
Melayu Serumpun, sebagaimana namanya, menyiratkan bahwa meski tersebar di berbagai wilayah—Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, hingga sebagian Thailand dan Filipina—komunitas ini memiliki akar yang sama: bahasa, adat, nilai spiritual, dan ekspresi seni. Bahkan, India pun turut serta dalam gelaran ini.
Festival ini pun menjadi ruang aman bagi generasi muda untuk kembali mengenal jati dirinya. Banyak di antara mereka yang lahir dan tumbuh di kota-kota besar, jauh dari tradisi. Di Medan, mereka merasakan kembali denyut budaya leluhur.
Gelar Melayu Serumpun, menjadi simbol penting dari apa yang diungkapkan Joseph Nye (2004). Soft diplomacy merupakan kekuatan untuk memengaruhi dan membangun hubungan internasional bukan melalui kekuatan militer atau ekonomi, melainkan melalui budaya, nilai, dan daya tarik.
Relevansi Soft Power
Dalam bukunya Soft Power: The Means to Success in World Politics (2004), Nye menjelaskan soft diplomacy adalah “kemampuan suatu negara untuk mendapatkan apa yang diinginkan melalui daya tarik alih-alih paksaan.” Budaya—baik dalam bentuk seni, bahasa, kuliner, atau nilai sosial—menjadi instrumen utama untuk menumbuhkan kepercayaan dan kerja sama antarnegara.
Festival Melayu Serumpun 2025 secara sempurna menerjemahkan prinsip ini. Melibatkan delegasi budaya dari 29 wilayah, termasuk negara tetangga seperti Malaysia (Johor, Selangor, Ipoh, Sarawak), Thailand, Brunei, hingga India dan berbagai provinsi di Indonesia, acara ini membangun ikatan lintas batas dengan kekuatan budaya yang hidup dan otentik.
Geoffrey Cowan dalam The New Public Diplomacy (2005) menekankan pentingnya cultural diplomacy sebagai alat hubungan luar negeri suatu negara, termasuk melalui festival dan pertukaran budaya.
Wilayah Asia Tenggara adalah kawasan multikultural yang sering kali menghadapi tantangan geopolitik, sengketa batas, dan dinamika diplomatik.