Logistik Maritim Indonesia, Quo Vadis?

11 hours ago 6
Republika/PrayogiTarif kontainer melonjak lagi, pelaku logistik malah ragu soal ke depannya. Sumber:Republika/Prayogi

ShippingCargo.co.id, Jakarta—Indonesia tampaknya sedang berada di titik persimpangan ketahanan ekonomi dan integrasi Global. Pasalnya, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia direvisi turun dari 4,9% menjadi 4,7% oleh OECD untuk 2025, sektor logistik maritim tak hanya menjadi titik lemah—namun juga peluang strategis untuk mentransformasi Indonesia sebagai pusat maritim dunia.

Ketika Laut Jadi Jalur Nafas Ekonomi

Sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.500 pulau, Indonesia menggantungkan 90% aktivitas perdagangannya pada jalur laut. Namun, infrastruktur logistik maritim masih jauh dari optimal—dengan biaya logistik mencapai 14,29% dari PDB tahun 2022, atau 2,5 kali lipat lebih mahal dibanding Malaysia.

OECD, dalam laporannya, menyoroti melemahnya ekspor batu bara dan kelapa sawit sebagai penyebab utama revisi proyeksi pertumbuhan ekonomi. Sektor ini sangat tergantung pada efisiensi pelayaran dan pelabuhan. Karena itu, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian merilis paket stimulus senilai Rp 2,13 triliun, termasuk diskon 50% tarif kapal laut untuk mendorong konsumsi dan pergerakan antar pulau.

Tekanan Geopolitik: Ketika Selat Jadi Medan Strategis

Posisi Indonesia di Selat Malaka—jalur 40% perdagangan dunia—membuatnya rentan terhadap ketegangan global, seperti perang dagang AS-Tiongkok. Seperti dilansir oleh Republika, pemerintah merespons dengan mempercepat pembangunan pelabuhan alternatif seperti Patimban, yang mengalami lonjakan throughput kontainer 30% pada kuartal pertama 2025.

Stimulus Maritim: Antara Solusi Cepat dan Masalah Struktural

Lima pilar utama paket stimulus mencakup:

  • Diskon tarif dan insentif konektivitas: Diskon 50% kapal Pelni, 20% tol menuju pelabuhan utama.
  • Bantuan langsung untuk masyarakat pesisir: Tambahan Rp 200 ribu per bulan bagi 21 juta penerima Kartu Sembako.
  • Optimalisasi muatan ekspor: Platform AI untuk konsolidasi ekspor komoditas rakyat kecil.

Namun, Bank Dunia mencatat bahwa biaya logistik Indonesia per ton-kilometer masih tertinggi di Asia Tenggara. Artinya, subsidi sementara tak akan cukup tanpa reformasi menyeluruh.

Timur Indonesia: Menyeimbangkan Pusat dan Pinggiran

Bitung, Sorong, dan Makassar menjadi fokus baru. Misalnya, subsidi 30% untuk rute kontainer Makassar–Sorong bertujuan meningkatkan utilisasi pelabuhan timur, yang saat ini hanya 28%. Biaya logistik di kawasan timur bahkan bisa mencapai 23% dari harga produk, hampir dua kali lipat wilayah barat.

Aksesi OECD: Langkah Besar Menuju Transparansi dan Modernisasi

Langkah Indonesia menuju keanggotaan OECD membuka jalan reformasi besar. Beberapa implikasi penting untuk sektor maritim:

  • Standar transparansi pelabuhan: Wajib melaporkan biaya bongkar muat secara real-time.
  • Dukungan pembiayaan hijau: Akses ke pinjaman murah untuk retrofit kapal ramah lingkungan.
  • Penguatan pengawasan pelabuhan: Kurangi kedatangan kapal tak layak yang menjadi penyebab 18% kecelakaan laut.

Namun, usulan revisi UU Pelayaran 2025 yang membuka peluang bagi kapal asing di rute tertentu menimbulkan kontroversi—dianggap mengancam cabotage, namun disambut oleh eksportir.

Lompatan Teknologi: Dari Blockchain hingga Drone

Beberapa terobosan sudah dilakukan:

  • Blockchain bill of lading mempersingkat waktu pengurusan dokumen dari 5 hari jadi 12 jam.
  • AI di Pelabuhan Tanjung Perak memangkas waktu tambat kapal 40%.
  • Dronisasi logistik kesehatan di pulau terpencil menggunakan kapal Ropax sebagai basis pengiriman.
Tantangan Hijau: Transisi Energi di Lautan

Indonesia menargetkan:

  • Mandatori B35 untuk kapal domestik mulai 2026, berdampak pada 8.200 armada.
  • Shore power di pelabuhan, yang baru tersedia di 12% pelabuhan besar—jauh di bawah rata-rata OECD (34%).

Stimulus hanya mengalokasikan insentif pajak Rp 1,2 triliun, yang menurut pakar belum cukup.

Kesimpulan: Arah Layar Menuju Poros Maritim Dunia

Indonesia tengah menavigasi antara stimulus jangka pendek dan reformasi jangka panjang. Keberhasilan strategi ini bergantung pada:

  1. Efisiensi pelabuhan dan kontainerisasi untuk menjaga daya saing ekspor.
  2. Pemanfaatan transfer pengetahuan OECD dalam menutup kekurangan infrastruktur tahunan sebesar US$8 miliar.
  3. Pembangunan SDM maritim, dengan memperluas pendidikan pelaut untuk mengatasi kekurangan 45% awak bersertifikat.

Menteri Airlangga menyimpulkan tepat: "Logistik bukan sekadar memindahkan barang. Ia adalah denyut nadi ekonomi nasional."

Read Entire Article
Politics | | | |