Home > Budaya Wednesday, 16 Jul 2025, 16:22 WIB
Secara estetika, cerpen ini berhasil menciptakan lanskap visual yang kuat. Tentang langit jingga, tebing kapur putih, bangunan kubah biru, dan angin Laut Aegea memberi pembaca rasa seolah benar-benar berada di tengah-tengah suasana itu.

Oleh: Yurnaldi (wartawan dan sastrawan, tinggal di Padang, Sumatera Barat)
Abstrak
Esai ini mengkaji cerpen “Cahaya yang Tertinggal di Santorini” sebagai representasi sastra kontemplatif yang menekankan estetika visual dan lirisisme suasana. Dengan pendekatan tematik dan stilistik, analisis menyoroti dominasi deskripsi latar yang indah namun pasif, serta minimnya dinamika konflik dan transformasi tokoh. Cerpen dinilai berhasil membangun atmosfer yang menenangkan, tetapi kurang menggugah secara emosional. Esai ini mempertanyakan kecukupan keindahan semata dalam struktur naratif dan menawarkan pembacaan ulang terhadap batas antara pesona estetika dan kedalaman makna dalam karya fiksi pendek
***
Dalam sastra, latar bukan sekadar dekorasi. Ia bisa menjadi cermin batin, simbol kultural, bahkan karakter yang berinteraksi dengan tokoh dan konflik. Cerpen “Cahaya yang Tertinggal di Santorini” mencoba mengangkat hal itu dengan menjadikan Santorini—pulau kecil nan eksotik di Laut Aegea—sebagai latar utama sekaligus lanskap perenungan. Tapi sekuat apapun cahaya matahari di tebing putih Yunani itu, kisah ini menyisakan bayangan: mengapa begitu indah namun terasa belum utuh?
Cerpen ini mengambil pendekatan yang sangat kontemplatif. Seorang tokoh (diduga perempuan, meski tak selalu eksplisit) berkelana ke Santorini, menghindar dari sesuatu yang tak disebutkan secara rinci. Dalam suasana senja, ia berkutat dengan kenangan, rasa kehilangan, dan pencarian makna. Santorini menjadi panggung refleksi: tempat di mana ia tidak menemukan jawaban, melainkan menyadari apa yang tertinggal.
Estetika Visual dan Tantangan Naratif
Secara estetika, cerpen ini berhasil menciptakan lanskap visual yang kuat. Deskripsi tentang langit jingga, tebing kapur putih, bangunan kubah biru, dan angin Laut Aegea memberi pembaca rasa seolah benar-benar berada di tengah-tengah suasana itu. Kalimat-kalimat puitis, penggunaan metafora alam, dan diksi yang tenang turut memperkuat nuansa melankolis.
Penggiat Literasi-Tutor-Penulis & Penerbit Buku -- PALEMBANG - INDONESIA