Menelisik Arah Ekonomi Indonesia Pasca Trump 2.0

12 hours ago 9

loading...

Candra Fajri Ananda, Wakil Ketua Badan Supervisi OJK. Foto/Dok. SindoNews

Candra Fajri Ananda
Wakil Ketua Badan Supervisi OJK

KEBIJAKAN perdagangan Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump pada tahun 2025 menunjukkan kecenderungan proteksionisme yang semakin menguat. Melalui pendekatan "America First Trade Policy", pemerintah AS menetapkan tarif tinggi terhadap berbagai produk impor dari negara mitra utama seperti Uni Eropa, Meksiko, dan Kanada, dengan kisaran tarif mencapai 15% hingga 20%.

Bahkan, produk strategis seperti baja dan aluminium dikenai tarif hingga 50%, sementara kendaraan bermotor dikenakan tarif sebesar 25%. Meskipun kebijakan ini berhasil meningkatkan penerimaan negara dari bea masuk sebesar USD 64 miliar pada kuartal kedua tahun 2025, dampak negatifnya mulai dirasakan melalui peningkatan tekanan inflasi dan gangguan pada rantai pasok domestik.

Indonesia, sebagai salah satu mitra dagang utama Amerika Serikat di kawasan Asia Tenggara, turut merasakan dampak dari kebijakan proteksionis tersebut. Pemerintah AS sempat mengancam akan menerapkan tarif sebesar 32% terhadap sejumlah produk ekspor asal Indonesia, meskipun kemudian angka tersebut direvisi menjadi 19%.

Pada 2024, Indonesia berhasil mencatatkan surplus perdagangan barang dengan AS sebesar USD 17,9 miliar, dari total nilai perdagangan yang mencapai USD 38,3 miliar. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia memiliki posisi strategis dalam hubungan perdagangan global, ketergantungan pada satu mitra utama menjadikan posisinya rentan terhadap fluktuasi kebijakan eksternal.

Oleh karena itu, diperlukan langkah kebijakan yang responsif dan terarah untuk menjaga stabilitas dan keberlanjutan perdagangan nasional. Sebagai upaya mengurangi ketergantungan dan memperkuat posisi ekonomi Indonesia di kancah internasional, kemitraan dengan BRICS menjadi alternatif strategis.

Pada 2024, ekspor nonmigas Indonesia ke negara-negara anggota BRICS mencapai USD 84,4 miliar, setara dengan 34% dari total ekspor nonmigas nasional. BRICS, secara kolektif, menyumbang lebih dari 41% PDB global berdasarkan PPP dan memiliki output ekonomi sebesar USD 30,2 triliun.

Oleh sebab itu, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat perannya dalam blok tersebut melalui penguatan kerja sama dagang, pembangunan konektivitas logistik, dan penciptaan iklim investasi yang kompetitif. Inisiatif strategis seperti pembentukan skema koridor tarif nol bersama ASEAN, OKI, D-8, BRICS, Afrika, dan Uni Eropa penting untuk memperluas pasar ekspor secara adil dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat kedaulatan ekonomi nasional dan membentuk tata ekonomi global yang lebih inklusif dan berpihak pada kepentingan jangka panjang Indonesia.

Read Entire Article
Politics | | | |