Shinta Oktavia Aila Ramadhani
Gaya Hidup | 2025-11-12 13:47:34
Di era modern yang serba cepat dan penuh tekanan, kebiasaan overthinking atau berpikir berlebihan menjadi salah satu tantangan mental yang paling sering dialami banyak orang. Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO), lebih dari 264 juta orang di seluruh dunia menderita gangguan kecemasan, dan salah satu penyebab utamanya adalah terlalu sering memikirkan hal-hal yang belum tentu terjadi. Fenomena ini semakin meluas di era digital, ketika otak kita terus dipacu oleh banjir informasi tanpa jeda.
Overthinking bukan sekadar berpikir mendalam, tetapi kondisi di mana seseorang terus mengulang analisis terhadap situasi tertentu, menyesali keputusan masa lalu, atau terlalu mencemaskan hal-hal di masa depan. Penelitian dari University of Michigan mengungkap bahwa sekitar 73% individu berusia 25–35 tahun kerap terjebak dalam pola berpikir seperti ini, terutama karena tekanan pekerjaan dan pengaruh media sosial. Akibatnya, banyak yang mengalami stres berkepanjangan, gangguan tidur, bahkan penurunan produktivitas.
Kehidupan di era modern seolah menuntut kita untuk selalu aktif, responsif, dan produktif. Notifikasi yang tiada henti, perbandingan sosial di dunia maya, serta tekanan untuk selalu terlihat sukses membuat pikiran jarang beristirahat. Padahal, kemampuan untuk berhenti sejenak dan memberi ruang pada diri sendiri adalah kunci agar tetap tenang di tengah kesibukan. Para psikolog menyebut hal ini sebagai kemampuan untuk membiarkan pikiran beristirahat dari kekhawatiran yang tidak perlu.
Salah satu cara ampuh untuk meredam overthinking adalah dengan mempraktikkan mindfulness atau kesadaran penuh terhadap momen yang sedang dijalani. Berdasarkan penelitian Harvard University (2018), latihan mindfulness selama 15 menit setiap hari mampu menurunkan kadar hormon stres kortisol hingga 25%. Aktivitas sederhana seperti berjalan tanpa membawa ponsel, menulis jurnal pribadi, atau berlatih pernapasan dalam pun terbukti dapat membantu menenangkan sistem saraf.
Selain itu, membatasi paparan informasi juga sangat berpengaruh terhadap ketenangan mental. Riset dari American Psychological Association (APA) tahun 2022 menunjukkan bahwa individu yang hanya menggunakan perangkat digital maksimal dua jam per hari memiliki tingkat stres 23% lebih rendah dibandingkan mereka yang menghabiskan waktu lebih dari lima jam di media sosial. Fakta ini menegaskan pentingnya melakukan detoks digital sebagai salah satu langkah untuk menjaga kesehatan mental.
Ketenangan sejati bukan berarti menghindari persoalan hidup, melainkan kemampuan untuk mengendalikan pikiran agar tidak terjebak dalam kecemasan yang tidak perlu. Hidup tanpa overthinking bukan hal yang mustahil; ia adalah sebuah seni yang membutuhkan latihan, kesadaran diri, dan komitmen untuk menjaga keseimbangan batin. Dalam dunia yang bergerak begitu cepat, mereka yang mampu mempertahankan ketenangan justru akan lebih bijak dalam mengambil keputusan, berpikir jernih, dan menikmati hidup dengan tulus.
Akhirnya, rahasia untuk hidup tanpa overthinking terletak pada kemampuan kita untuk benar-benar hadir di saat ini. Masa lalu tidak bisa diubah dan masa depan belum tentu terjadi, tetapi kita bisa mengatur cara berpikir serta merespons keduanya. Dengan menenangkan pikiran, membatasi gangguan, dan melatih kesadaran, kita dapat menemukan kedamaian bahkan di tengah dunia yang terus bergerak tanpa henti.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 hour ago
2



































