REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) menjatuhkan sanksi kepada dua hakim Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Kedua hakim tersebut disanksi karena menolak banding Israel di yang berupaya mencegat upaya penyelidikan terhadapnya terkait perang di Jalur Gaza.
"Hari ini, saya menetapkan dua hakim Mahkamah Pidana Internasional (ICC), Gocha Lordkipanidze dari Georgia dan Erdenebalsuren Damdin dari Mongolia, berdasarkan Perintah Eksekutif 14203, 'Menjatuhkan Sanksi pada Mahkamah Pidana Internasional'," kata Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio dalam pernyataannya, Kamis (19/12/2025), dikutip laman resmi Departemen Luar Negeri AS.
Perintah Eksekutif 14203 diteken Presiden AS Donald Trump pada Februari 2025 lalu untuk mengenakan sanksi kepada ICC. Rubio mengatakan, kedua hakim ICC dijatuhi sanksi karena berupaya melakukan penuntutan terhadap warga Israel, termasuk menolak banding Israel yang bertujuan mencegah penyelidikan terhadap Tel Aviv atas perang di Jalur Gaza.
"Individu-individu ini secara langsung terlibat dalam upaya ICC untuk menyelidiki, menangkap, menahan, atau menuntut warga negara Israel, tanpa persetujuan Israel, termasuk memberikan suara bersama mayoritas yang mendukung putusan ICC terhadap banding Israel pada tanggal 15 Desember," ucap Rubio.
Menurut Rubio, ICC terus mengambil tindakan "politis" yang menargetkan Israel. Hal itu dinilai merupakan preseden berbahaya bagi semua negara. "Kami tidak akan mentolerir penyalahgunaan kekuasaan ICC yang melanggar kedaulatan Amerika Serikat dan Israel dan secara keliru menundukkan warga negara AS dan Israel pada yurisdiksi ICC," ujarnya.
"Pesan kami kepada Mahkamah telah jelas: Amerika Serikat dan Israel bukan pihak dalam Statuta Roma dan oleh karena itu menolak yurisdiksi ICC. Kami akan terus menanggapi perang hukum dan pelanggaran wewenang ICC dengan konsekuensi yang signifikan dan nyata," tambah Rubio.
Sementara itu ICC mengkritik tajam keputusan AS menjatuhkan sanksi kepada dua hakimnya. Mereka menilai, hal itu merupakan serangan mencolok dan terang-terangan terhadap independensi ICC.
“Tindakan-tindakan yang menargetkan hakim dan jaksa yang dipilih oleh negara-negara pihak tersebut merusak supremasi hukum. Ketika aktor peradilan diancam karena menerapkan hukum, tatanan hukum internasional itu sendiri yang berada dalam risiko,” kata ICC.
Pada 21 November 2024, ICC menerbitkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanan Israel, Yoav Gallant, atas keterlibatan mereka dalam dugaan kejahatan perang di Jalur Gaza. "ICC dengan ini mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap dua individu, Benjamin Netanyahu dan Yoav Gallant, atas kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang yang dilakukan setidaknya dari 8 Oktober 2023 hingga 20 Mei 2024," demikian pernyataan ICC.
Tanggal 20 Mei 2024 yang disinggung dalam pernyataan itu merujuk pada waktu jaksa ICC mengajukan permohonan surat perintah penangkapan terhadap mereka. Dengan demikian, ICC menolak argumen Israel yang menyatakan bahwa pengadilan tersebut tak memiliki yurisdiksi untuk memerintahkan penangkapan Netanyahu dan Gallant.
ICC menemukan dasar yang wajar untuk meyakini bahwa Netanyahu dan Gallant bertanggung jawab atas tindak kejahatan perang dalam bentuk "memanfaatkan kelaparan sebagai metode peperangan dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang meliputi pembunuhan, penyiksaan, dan tindakan tak manusiawi lainnya".
sumber : Reuters

3 hours ago
3














































