REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menanggapi proyeksi terbaru Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang memangkas pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 4,7 persen pada 2025 dan 4,8 persen pada 2026. Ia menilai Pemerintah Indonesia akan fokus untuk menjaga daya masyarakat untuk menopang ekonomi nasional.
“Bagi Indonesia, kita melihat ke depan bagaimana kita bisa menjaga daya beli masyarakat sehingga kita bisa menjaga pertumbuhan (ekonomi). Salah satunya kemarin telah diluncurkan lima paket stimulus yang diharapkan ini bisa menjaga industri-industri padat karya,” kata Airlangga dalam konferensi pers Perkembangan Kesiapan Indonesia menuju Keanggotaan OECD pada Ministerial Council Meeting OECD secara virtual di Jakarta, Rabu (4/6/2025).
Adapun lima stimulus tersebut mencakup diskon tiket transportasi, diskon tarif tol, penebalan bantuan sosial dan bantuan pangan, bantuan subsidi upah, serta perpanjangan diskon iuran Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
Airlangga menuturkan bahwa langkah serupa juga dilakukan negara-negara OECD lain, yang turut menyiapkan paket kebijakan untuk menjaga konsumsi domestik mereka.
“Memang kami juga monitor dari berbagai negara di OECD, sebagian besar juga membuat paket-paket agar bisa menjaga daya beli masyarakatnya dalam situasi seperti sekarang,” ujarnya.
Lebih lanjut, dirinya menjelaskan pelemahan ekonomi sebenarnya tak hanya dialami Indonesia, melainkan terjadi secara global sebagai dampak lanjutan dari kebijakan dagang AS dan pengetatan kondisi keuangan dunia.
“Kemarin dalam pertemuan dengan Direktur Jenderal WTO Ngozi Okonjo-Iwaela, dari segi trade juga ini terpangkas akibat perang tarif atau reciprocal tarrif yang diterapkan oleh Amerika Serikat. Sehingga diprediksi beberapa negara itu pertumbuhannya akan terpotong dari 0,5 persen sampai dengan 0,7 persen,” jelasnya.
Sebagaimana diketahui, dalam laporan Economic Outlook terbaru, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global turun dari 3,3 persen pada 2024 menjadi 2,9 persen pada 2025 dan 2026.
Organisasi tersebut juga menyebut tekanan utama berasal dari melemahnya kepercayaan pasar, hambatan perdagangan, dan tingginya biaya pinjaman, yang berdampak langsung terhadap konsumsi serta investasi di banyak negara.
sumber : ANTARA