Penempatan 50 Siswa dalam Satu Kelas di Jabar Dinilai Mirip Penjara, P2G: Berdampak Negatif

13 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) mengkritisi Gubernur Jawa Barat (Jabar) Dedi Mulyadi yang mengeluarkan peraturan mengenai Pencegahan Anak Putus Sekolah. Salah satu isi aturan itu membuat satu kelas bisa diisi oleh 50 siswa. 

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri mengatakan, P2G memahami itikad baik Gubernur dalam upaya mengurangi anak putus sekolah di Jabar. Namun niat baik tersebut akan berdampak negatif serta kontraproduktif bagi guru dan siswa, baik dari aspek pedagogis, psikologis, maupun sosial. "Jika yang diharapkan Gubernur Jabar adalah 50 anak tiap kelas, ini sangat tidak efektif, akan berpotensi mengganggu proses dan kualitas pembelajaran di kelas," ujar Iman kepada Republika, Rabu (16/7/2025). 

Iman menyentil aturan semacam itu malah membuat kelas layaknya penjara. Ini mengingat kapasitas ruang kelas sebenarnya didesain tak memadai hingga 50 orang. "Kelas akan terasa sumpek, seperti penjara, mengingat luas ruang kelas SMA/SMK itu hanya muat maksimal 36 murid saja," kata Iman.

Iman mengungkap beberapa resiko yang akan dihadapi seperti kelas jadi pengap, suara guru tidak terdengar apalagi jika siswa berisik, kelas tidak kondusif, ruang gerak anak dan guru tidak ada, interaksi murid di kelas sangat terbatas. "Sarana prasarana tidak mencukupi, dan guru tidak bisa mengkontrol kelas," katanya. 

Iman juga menilai aturan Gubernur Jabar tersebut bertentangan dengan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Standar Pengelolaan dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 tentang Juknis Pembentukan Rombongan belajar. Isi aturan menyatakan siswa SMA/MA/SMK/MAK maksimal 36 orang saja.

Iman pun meragukan kebijakan ini akan menyelesaikan masalah anak putus sekolah. "Anak putus sekolah di Jawa Barat memang menghawatirkan, ada sekitar 658 ribu. Kami menilai, memasukan 50 murid SMA ke satu kelas justru solusi instan jangka pendek," kata Iman.

Menurut Iman, sebagai bentuk Layanan Minimal Pendidikan yang sudah diatur dalam Permendikbudristek Nomor 32 Tahun 2022, kebijakan pencegahan anak putus sekolah harus berprinsip kesesuaian wewenang, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran dan ketepatan sasaran. "Misalnya melihat kondisi sekolah, ketersediaan guru, sarana prasarana, dan luas ruang kelas," ujar Iman. 

Read Entire Article
Politics | | | |