Oleh: Pipit Damayanti*)
Apa kabar kawan pajak? Semoga selalu sehat dan dilimpahkan kebahagiaan, kesehatan, dan keberkahan. Di tengah musibah yang terjadi di Tanah Air, yaitu bencana banjir bandang yang melanda daerah Aceh, Sumatera Barat dan Sumatera Utara, tentunya mengguncang rasa empati atas kemalangan yang menimpa saudara-saudara kita setanah air.
Kita dapat bersama-sama membantu meringakan beban mereka dengan berbagai cara, bisa dengan berdonasi, terjun langsung ke daerah banjir, dan tak lupa berdoa kepada Allah SWT agar bencana ini segera dapat diatasi dengan sebaik-baiknya, serta masyarakat yang terdampak dapat kembali pulih sebagaimana mestinya, baik secara fisik maupun mental.
Selain berita banjir bandang, sepanjang tahun 2025 ternyata ada juga musibah yang menimpa kehidupan di unit terkecil dari masyarakat, yaitu dalam lingkup keluarga. Tak lain yaitu banyaknya berita perceraian selebriti tanah air yang juga mengagetkan masyarakat. Tidak hanya satu atau dua jumlah perceraian, namun dengan bertubi-tubinya berita perceraian yang berurutan dengan jumlah cukup banyak, membuat publik terkejut.
Nama-nama pasangan selebriti yang sedang ataupun telah resmi bercerai di tahun 2025 antara lain: Sherina Munaf dan Baskara Mahendra, Baim Wong dan Paula Verhoeven, Raisa dan Hamish Daud, Acha Septriasa dan Vicky Kharisma, Fachri Albar dan Renata Kusmanto, Asri Welas dan Galiech Ridha, Bedu dan Irma Kartika, Tasya Farasya dan Ahmad Assegaf, Andre Taulany dan Rien Wartia Trigina, serta pasangan Sabrina Chairunnisa dan Deddy Corbuzier. Yang terakhir namun tidak kalah menghebohkan adalah berita gugat cerai Atalia Praratya kepada Ridwan Kamil, mantan gubernur Jawa Barat periode 2018-2023.
Pasangan selebriti siapa yang paling menarik perhatian atas berita perceraian di tahun 2025 ini? Nampak kontras, karena beberapa dari pasangan tersebut sebelumnya terkenal sebagai “couple goals”, selalu rukun, terlihat bahagia, bak pasangan ideal, kerap melewatkan waktu bersama, tidak pernah ada kabar perselisihan. Mereka menutup perjalanan rumah tangga yang sebelumnya kerap mereka tampilkan hangat di media sosial. Yah begitulah musibah, tidak ada yang menginginkan musibah apapun menimpa kita, apalagi musibah berupa perceraian dan pastinya tidak ada orang yang menikah dengan tujuan bercerai.
Apa yang bisa dipelajari masyarakat dari perceraian artis yang ramai jadi sorotan?
Kawan pajak, segala sesuatu kejadian yang telah berlalu tidak untuk kita lupakan, namun bisa kita jadikan pelajaran atas peristiwa yang sedang ramai diperbincangkan di masyarakat. Dalam artikel perpajakan kali ini, tentunya kita tidak akan mengulas sebab-sebab perceraian bagaikan artikel di media gosip, namun di sisi lain akan menarik untuk menggarisbawahi akibat-akibat hukum yang terjadi akibat perceraian.
Fenomena ini menarik dibahas di sini karena dapat menjadi kilas balik untuk pembelajaran dan waktu yang tepat mengulang kembali aspek-aspek perpajakan untuk suami istri (atau mantan suami istri) yang berlaku di Indonesia.
Disclaimer : artikel ini akan lebih condong kepada kewajiban mantan istri karena mantan istri lebih terdampak daripada mantan suami secara hukum pajak.
Kewajiban bagi mantan istri untuk melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (SPT Tahunan PPh OP) atas namanya sendiri setelah bercerai bukanlah aturan yang baru, namun menjadi konsekuensi logis dari statusnya sebagai Wajib Pajak (WP) Orang Pribadi yang berdiri sendiri setelah status pernikahannya berakhir.
Ketentuan ini berlaku sejak awal sistem perpajakan di Indonesia memandang setiap orang pribadi, termasuk wanita yang telah bercerai, sebagai subjek pajak mandiri apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif (yaitu memiliki penghasilan).
- Status Perpajakan: Sebelum bercerai, kewajiban perpajakan istri umumnya digabungkan dengan suami (kecuali ada perjanjian pisah harta/PH atau memilih terpisah/MT). Setelah perceraian diputus oleh pengadilan, status perpajakan wanita tersebut berubah menjadi tidak kawin/janda, dan dia wajib melaksanakan kewajiban perpajakannya secara mandiri.
- Perubahan Status: Kewajiban ini muncul seketika setelah keputusan cerai sah secara hukum (putusan pengadilan diterbitkan). Pada saat itulah, status perpajakannya yang semula mengikuti suami menjadi terpisah.
- Peraturan: Aturan ini didasarkan pada dasar hukum utama yang mengatur yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), yang mengubah ketentuan dalam UU Pajak Penghasilan (PPh) yang berlaku umum, yang mendefinisikan subjek pajak orang pribadi. Kewajiban pajak subjektif orang pribadi dimulai sejak lahir dan berakhir saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya. Perceraian tidak menghentikan kewajiban pajak, melainkan mengubah status pelaporannya.
Setelah bercerai, mantan istri wajib:
- Mengurus NPWP Baru/Mengaktifkan Kembali NPWP: Jika sebelumnya NPWP istri dinonaktifkan dan digabungkan dengan suami, ia harus mengajukan permohonan NPWP baru atau mengaktifkan kembali NPWP lama ke Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
- Lapor SPT Tahunan Sendiri: Wajib melaporkan SPT Tahunan PPh OP secara mandiri untuk tahun pajak berikutnya dan seterusnya.
- Tanggungan Anak: Jika mantan istri yang menanggung biaya hidup anak, status tanggungan tersebut dapat diakui dalam perhitungan PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) miliknya.
Bagaimana perpajakan atas aspek harta gono-gini dan nafkah?
- Pembagian Harta: Pembagian harta bersama akibat perceraian pada umumnya bukan merupakan objek pajak penghasilan, karena dianggap sebagai penyerahan harta dari satu subjek pajak ke subjek pajak lainnya dalam satu kesatuan ekonomi keluarga sebelumnya.
- Nafkah/Tunjangan: Tunjangan atau nafkah yang diterima oleh mantan istri atau untuk anak dari mantan suami setelah perceraian tidak termasuk dalam objek PPh bagi penerima (mantan istri) dan tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto pemberi (mantan suami).
Nah kawan pajak, begitulah sekilas tentang bagaimana pajak memandang pernikahan dan perceraian. Indonesia adalah negara berdasarkan hukum, sehingga suatu kejadian dianggap sah apabila telah memenuhi hukum resmi, termasuk putusan pengadilan. Begitu juga dengan untuk pernikahan dan perceraian yang sah secara hukum. Apabila pernikahan atau perceraian belum diketok palu oleh hakim atau belum ada dokumen resminya maka belum dianggap sah, walaupun mungkin terjadi pernikahan secara agama masing-masing, maupun telah terjadi perkataan/pernyataan cerai dari pihak suami atau gugat cerai dari pihak istri.
Kawan pajak semoga dapat mengambil hikmah atas berbagai musibah yang terjadi di tahun 2025 dan kita akan menyambut tahun 2026 dengan penuh optimisme. Apapun yang terjadi di negara kita, baik dan buruknya, kita akan selalu optimis berjuang karena kita masih mempunyai harapan untuk kehidupan yang lebih baik di masa yang akan datang. Sampai jumpa di artikel perpajakan berikutnya di tahun 2026.
*) Pipit Damayanti adalah Penyuluh Pajak di KPP Pratama Kuningan, Direktorat Jenderal Pajak.
*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

3 hours ago
8














































