REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pemerintah memperluas kewajiban sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tak hanya untuk perkebunan sawit, tetapi juga produk olahan. Aturan ini ditegaskan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 yang menandai babak baru dalam sistem sertifikasi sawit berkelanjutan dari hulu hingga hilir.
Melalui Perpres ini, sektor industri pengolahan dan bioenergi berbasis sawit wajib memenuhi standar keberlanjutan yang sama dengan sektor hulu. Pemerintah kini melibatkan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian ESDM dalam pelaksanaan ISPO hilir.
“Sertifikasi ISPO hilir ini ibarat sertifikasi halal, memberikan jaminan tertulis kepada konsumen bahwa produk tersebut sudah berkelanjutan,” kata Direktur Kemurgi, Oleokimia, dan Pakan Kemenperin, Lila Harsyah Bakhtiar, Kamis (5/6/2025).
Lila menjelaskan, perluasan cakupan ini didorong oleh fakta bahwa sebagian besar ekspor sawit Indonesia bukan lagi dalam bentuk minyak mentah (CPO), melainkan produk olahan. Oleh karena itu, menjaga ketelusuran (traceability) menjadi sangat penting di tengah tuntutan pasar global terhadap keberlanjutan.
Fokus utama sertifikasi diberikan pada produk dengan volume besar dan potensi pasar ekspor tinggi. Sertifikasi ini memungkinkan pencantuman logo ISPO pada kemasan produk, sebagai penanda bahwa produk tersebut memenuhi prinsip keberlanjutan.
Model sertifikasinya akan mengacu pada sistem mass balance, yakni skema pencampuran bahan baku bersertifikasi dan non-sertifikasi dalam batas pengawasan yang ketat.
Draf aturan ISPO hilir dijadwalkan terbit untuk konsultasi publik pada Juni 2025 dan akan merujuk pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 45 Tahun 2020. Pemerintah berharap skema baru ini dapat diterapkan secara inklusif dan tidak membebani pelaku industri.
Sementara itu, dari sisi hulu, Kementerian Pertanian (Kementan) juga menegaskan komitmen terhadap penguatan ISPO. Perpres 16/2025 menggantikan Perpres sebelumnya dengan memperluas ruang lingkup sertifikasi serta memperbarui skema pembiayaan dan kelembagaan.
“Penambahan ruang lingkup ini dibarengi dengan restrukturisasi kelembagaan dan skema pembiayaan baru. Kini, pembiayaan ISPO untuk pekebun bisa difasilitasi oleh APBN, APBD, maupun Badan Pengelola Dana Perkebunan,” ujar Ketua Kelompok Substansi Penerapan dan Pengawasan Mutu Hasil Perkebunan Kementan, Ratna Sariati.
Ratna menegaskan bahwa ISPO bukan sekadar label, melainkan sistem menyeluruh yang memastikan usaha sawit dilakukan secara layak secara ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Landasannya mengacu pada UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan dituangkan dalam Perpres 16/2025.
“Saat ini, kami sedang menyusun pembaruan dari Peraturan Menteri Pertanian No 38 Tahun 2020 Tentang Penyelenggaraan Sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia,” ujarnya.
Ratna juga mengingatkan bahwa pelaku usaha yang tidak mematuhi ketentuan ISPO dapat dikenai sanksi administratif. Per Februari 2025, sebanyak 1.157 pelaku usaha telah memperoleh sertifikasi ISPO dengan total luasan 6,2 juta hektare, meliputi 84 persen swasta, 9 persen BUMN, dan 7 persen pekebun rakyat.