AYYIDAH AULIA RAHMAN
Humaniora | 2025-11-12 14:55:58
Kehangatan sosok ayah tidak selalu hadir dalam setiap rumah, namun jejaknya membentuk banyak sisi dalam diri anak. (Foto: Pexels/Josh Willink)
Sering kali kita mendengar kisah anak muda yang begitu hancur setelah disakiti pasangan. Mereka kehilangan arah, merasa tidak berharga, bahkan sulit percaya lagi pada cinta. Sekilas, ini tampak seperti kisah patah hati biasa. Namun, jika ditelusuri lebih dalam, banyak dari mereka membawa luka lama yang tidak disadari, luka karena absennya figur ayah dalam hidup mereka.
Tak selalu berarti sang ayah benar-benar pergi, terkadang ayahnya ada secara fisik, tapi tidak benar-benar hadir secara emosional. Tidak ada pelukan, tidak ada percakapan hangat, tidak ada validasi. Dalam keheningan seperti itu, anak tumbuh tanpa belajar bagaimana rasanya dicintai dengan aman.
Ketika dewasa, perhatian sekecil apa pun dari seorang bisa terasa seperti kasih sayang besar yang selama ini dicari. Di sinilah sering kali mereka terjebak karena terlalu cepat percaya, terlalu bergantung, dan terlalu takut kehilangan. Dan ketika hubungan itu berakhir, luka lama yang belum pernah sembuh itu kembali terbuka.
Penelitian dari American Psychological Association (APA) menyebutkan bahwa anak-anak yang tumbuh dengan keterlibatan ayah rendah memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan, depresi, serta kesulitan membangun hubungan emosional yang stabil. Studi tersebut menyoroti pentingnya kehadiran ayah tidak hanya dalam aspek finansial, tetapi juga secara emosional.
Sementara laporan dari UNICEF (2023) mencatat bahwa anak yang tumbuh tanpa figur ayah yang aktif lebih rentan mengalami masalah perilaku dan kepercayaan diri, terutama pada masa remaja. Mereka cenderung mencari validasi dari luar diri salah satunya lewat hubungan romantis yang tidak selalu sehat.
Masalahnya, luka ini sering diwariskan. Anak laki-laki yang tumbuh tanpa kehangatan ayah, tanpa sadar bisa mengulang pola yang sama saat menjadi ayah kelak: hadir secara fisik, tapi tidak sepenuhnya secara emosional. Mereka tidak jahat, hanya tidak tahu caranya. Mereka meniru pola yang mereka kenal sejak kecil.
Dalam Islam, peran ayah bukan hanya sebagai pencari nafkah, tapi juga qawwam yaitu pelindung dan penuntun bagi keluarga. Rasulullah SAW memberi teladan yang lembut: memeluk anak-anaknya, mendengarkan mereka, dan menghormati perasaan mereka. Dari sana kita belajar bahwa kekuatan seorang ayah tidak datang dari jarak dan ketegasan, tapi dari kasih sayang yang menumbuhkan rasa aman.
Tulisan ini bukan untuk menyalahkan para ayah atau siapapun, melainkan untuk menyadarkan kita semua, bahwa kehadiran bukan sekadar fisik. Banyak dari kita tumbuh dengan luka yang tidak kita sadari, tapi kesadaran itu bisa menjadi awal untuk memutus rantai luka antargenerasi.
Bagi para laki-laki muda hari ini, kelak kalianlah yang akan menjadi seorang ayah. Belajarlah hadir secara penuh, bukan hanya dengan waktu dan tenaga, tapi juga dengan hati. Sebab mungkin, warisan terbaik yang bisa kita berikan pada anak-anak nanti bukanlah sekedar harta, tapi kehangatan yang membuat mereka tumbuh tanpa harus menyembuhkan luka yang sama.
Tulisan ini ditulis oleh seorang mahasiswa aktif Fakultas Vokasi Universitas Airlangga yang memiliki ketertarikan pada isu keluarga, psikologi, dan hubungan antar manusia. Baginya, menulis adalah cara untuk memahami luka yang sering kali tidak terlihat.
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

1 hour ago
2



































