Satu Cup Es Krim Haram dan Kehidupan Muslim di Jerman

8 hours ago 3

Oleh: Mas Alamil Huda; Jurnalis Republika, dari Berlin

REPUBLIKA.CO.ID, BERLIN --  Ingatan Dita merentang jauh ke belakang. Dia mengulang ucapan seorang penjual es krim itu padanya pada dua tahun silam. Kalimat tersebut ia dengar saat belum genap dua pekan tinggal di negeri orang. Tak bisa ia lupakan kejadian itu sampai sekarang. Momentum tersebut membekas pada dirinya hingga kini, atau hampir tiga tahun hidup di Berlin, Jerman.

“Jangan pilih yang ini. Ini tidak boleh untukmu.”

Bercerita di salah satu sudut Kota Berlin kepada Republika pekan lalu, mimik muka Dita tampak serius. Sesekali ia menyuapkan sesendok hidangan makan malamnya di tengah cerita. Bagi perempuan 35 tahun tersebut, masa penyesuaian diri di Benua Biru sungguh tak mudah, dari cuaca hingga budaya. Tapi, ia perlahan mampu ‘melawan’ segalanya. “Dan kejadian se-cup es krim itu sangat penting bagi saya,” kata dia.

Warga Negara Indonesia (WNI) yang sedang menempuh studi doktoral di Berlin itu menceritakan kisah ketika ia memesan se-cup es krim tiramisu. Ia sampaikan pesanannya kepada penjual. Tetapi sang penjual es krim yang melihat Dita segera menyergah dan meminta Dita memesan es krim jenis lain. “Mungkin karena dia melihat jilbab saya,” ujar Dita yang berjilbab dan berbusana sebagaimana sebagian besar Muslimah di Indonesia.

Dita diberi tahu penjual bahwa es krim yang dipesannya ternyata beralkohol. Dengan kata lain, es krim itu haram untuk Muslim. Ia sungguh tak tahu. Tak ada informasi tentang kandungan es krim itu. Seandainya tak dilarang penjual, ceritanya mungkin berbeda.

Penjual yang asli orang Jerman tersebut lantas merekomendasikan Dita untuk memesan es krim jenis lain. Dia pun mengiyakan. “Ini aman (halal) untukmu,” ujar Dita menirukan pesan penjual yang masih lekat di ingatannya. “Danke (terima kasih),” kata Dita membalas ramah. Sepotong peristiwa ketika awal ia tinggal di Jerman ini menjadi penguat baginya. Ia merasa ‘dijaga’ di Jerman.

Islam di Jerman secara jumlah memang minoritas. Tetapi dalam konteks Eropa, Jerman adalah negara kedua berpenduduk Muslim terbanyak setelah Prancis. Data terbaru dari Kementerian Dalam Negeri Jerman menunjukkan, kurang lebih ada 5,5 juta Muslim dari 84 juta orang total populasi. Artinya, sekitar 6,6 persen penduduk Jerman adalah umat Islam. 2.500 lebih masjid juga telah berdiri di Jerman.

Jumlah 5,5 juta orang Muslim tersebut beragam latar belakang keturunan. Turki menjadi kelompok Islam paling banyak dalam konteks asal negara. Sedangkan yang lain berasal dari berbagai negara seperti Suriah, Bosnia, berbagai negara Timur Tengah, hingga negara-negara Afrika Utara. Latar belakang dari banyak negara ini membuat corak Islam di Jerman sangat berbeda antara satu dan yang lain. Perbedaan itu mulai dari budaya hingga cara pandang dalam ‘melihat’ Islam itu sendiri.

Tetapi dalam konteks kehidupan bernegara di Jerman, kehidupan antarumat beragama di akar rumput terjaga relatif baik. Kesaksian itu diucapkan Ismail (62 tahun). Saat berbincang dengan Republika di Berlin pekan lalu, warga Jerman keturunan Turki itu mengatakan, selama tinggal di Jerman, ia tak pernah merasa ada diskriminasi. Ia bertetangga dengan penduduk beragama lain. Semua bebas menjalankan ritual keagamaan sesuai keyakinan masing-masing.

Selain bebas dalam menjalankan ritual keagamaan, selama 44 tahun tinggal di Jerman, Ismail juga merasakan berbagai bentuk kemudahan. Ia juga merasa kesejahteraannya sangat baik selama tinggal di Jerman. “Lingkungannya juga damai. Dari negara Jerman kami tidak mendapatkan kesulitan, kami bahagia dengan negara Jerman,” ujar dia.

Ismail tak pernah melihat ada tekanan tertentu dari negara. Semua orang bisa dan bebas berekspresi mengenai kepercayaannya. Menurutnya, semua orang Islam yang mau datang dan mengirimkan anaknya ke masjid untuk belajar, bisa kapan saja dilakukan dan tanpa ada tekanan. Dia berharap, semakin banyak orang Islam di Jerman yang mau datang ke masjid. Dia yakin dan memastikan, tidak ada orang yang menghalangi atau diskriminasi bagi orang yang mau datang ke masjid.

“Kami sangat berterima kasih kepada pemerintah, dan kami banyak diberikan kemudahan, tidak ada masalah. Kami berharap semua negara juga seperti ini. Misalnya secara bebas dapat berjilbab atau tidak, dan tidak ada orang yang melarang,” kata Ismail.

Kekhawatiran dan harapan

Di sisi lain, lonjakan perolehan suara partai sayap kanan, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD), pada Pemilu 2025 menjadi parameter tersendiri. AfD diketahui keluar sebagai pemenang kedua. Lonjakan suaranya sangat signifikan. Apa yang membuat partai ini mendapat banyak suara?

Deutsch Welle melansir, AfD semula menuntut dibubarkannya zona mata uang Euro. Untuk menarik simpati banyak pemilih, AfD memilih retorika sebagai partai populis kanan dan memberi tekanan khusus pada program anti-Islam. AfD juga menggelar kampanye anti-Yahudi dan menyuarakan sentimen rasisme. Inilah yang diyakini resep yang membuat AfD sukses meraih kursi di parlemen Jerman dan parlemen Eropa.

AfD diketahui pernah mengkritik kebijakan baru wali kota Koln pada 2021. Wali Kota Koln saat itu, Henriette Reker mengeluarkan aturan yang mengizinkan masjid menyiarkan adzan pada Jumat. “Ini memberi kesan Jerman bukan negara Kristen, tapi negara Muslim. Ini bukan masalahnya,” kata Wakil juru bicara AfD di Koln, Matthias Buschges, dilansir dari Anadolu Agency pada 2021.

Tapi gerakan Islamofobia dan partai sayap kanan AfD mengkritik keras keputusan Reker, dengan alasan ini adalah tanda lain dari ‘Islamisasi Jerman’. Wakil Juru Bicara Federal AfD Beatrix von Storch mengatakan partainya sangat menentang keputusan ini. “Seruan muadzin bukanlah ekspresi kebebasan beragama, toleransi, dan kebinekaan. Ini adalah ekspresi dari klaim politik untuk memerintah, tunduk, dan Islamisasi,” katanya di Twitter.

Koln adalah salah satu kota terbesar di Jerman dan rumah bagi lebih dari 120 ribu warga Muslim. Jumlah ini sama dengan 12 persen dari seluruh populasi kota. "Koln adalah kota keragaman agama dan kebebasan. Mengizinkan adzan bagi saya adalah tanda hormat,” katanya. Hingga pada akhirnya, adzan setiap Jumat mulai berkumandang di Koln pada Oktober 2022 hingga saat ini.

Kehidupan antarumat beragama di Jerman di level akar rumput kini relatif tenang. Tetapi, sejarah dunia telah menunjukkan, konflik horizontal bisa terjadi jika keyakinan atau latar belakang ras dijadikan komoditas politik untuk menarik simpati. Bahaya itu bisa saja muncul sewaktu-waktu, terlebih saat musim pemilihan umum sedang berlangsung.

Tapi di sisi lain, selalu ada pelita yang lahir dari mereka yang punya keyakinan tentang pentingnya sebuah toleransi yang kuat. Di Berlin, muncul prakarsa untuk membangun House of One, yakni sebuah proyek bangunan keagamaan yang akan menyatukan gereja, masjid, dan sinagog di bawah satu atap.

Proyek ini diharapkan menjadi simbol persatuan dan dialog antaragama, yang melibatkan komunitas Yahudi, Kristen, dan Muslim. Pembangunannya terletak di Petriplatz, yang terletak di pusat kota Berlin. Bangunan ini ditargetkan rampung dalam beberapa tahun lagi.

Pada akhirnya, menjalankan ritual ibadah sesuai keyakinan adalah hak asasi setiap manusia. Manusia juga tak pernah bisa memilih lahir dari rahim siapa. Jika kita hidup dalam komunitas besar yang multikultural dan beragam keyakinan, maka pondasinya adalah toleransi dan rasa yang kuat untuk saling menghormati. Toleransi harus disadari secara utuh sebagai jalan menuju hidup yang harmoni.

Read Entire Article
Politics | | | |