REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Di antara perairan Teluk Persia dan Laut Arab yang tampak tenang, tersembunyi sebuah jalur laut sempit yang telah lama menjadi pusat geopolitik dan ekonomi global: Selat Hormuz. Jalur selebar sekitar 33 kilometer pada titik tersempitnya ini bukan hanya urat nadi vital bagi perdagangan energi dunia, melainkan juga panggung tarik-ulur kepentingan politik antara negara-negara besar dan kawasan Timur Tengah. Ketegangan sedikit saja di wilayah ini dapat memicu gejolak harga minyak global dan mengganggu perekonomian dunia.
Saat itu situasi tersebut sedang terjadi. Meningkatnya suhu di Timur Tengah akibat perang Iran dengan Israel membuat Selat Hormuz terancam ditutup. Dewan Keamanan Nasional Tertinggi Iran tengah menggodok keputusan akhir mengenai apakah akan menutup Selat Hormuz, dilansir Press TV Iran pada Ahad. Hal ini setelah parlemen dilaporkan menyetujui tindakan tersebut.
Dilansir Alarabiya, Keputusan untuk menutup selat yang menjadi jalur aliran sekitar 20 persen permintaan minyak dan gas global ini masih belum final. Namun Kowsari mengatakan kepada Klub Jurnalis Muda Iran bahwa hal tersebut merupakan agenda dan “akan dilakukan kapanpun diperlukan.”
Pemerintah Iran mempertimbangkan berbagai opsi untuk merespons ancaman "agresi asing." Salah satu hal yang dipertimbangkan ialah kemungkinan menutup Selat Hormuz.
Sejarah Strategis Selat Hormuz
Nama Selat Hormuz berasal dari kerajaan kuno Hormuz yang dahulu menguasai kawasan itu sekitar abad ke-10 hingga ke-17. Lokasinya yang terjepit di antara Iran di utara dan Uni Emirat Arab serta Oman di selatan telah menjadikannya jalur pelayaran penting sejak zaman kuno. Pada masa kekaisaran Persia dan perdagangan India, Selat Hormuz telah menjadi pintu gerbang utama bagi barang-barang mewah seperti rempah-rempah, sutra, dan logam mulia yang menghubungkan Asia dengan Eropa.
Pada abad ke-16, Portugis merebut kekuasaan atas selat ini dan menjadikannya benteng penting untuk menguasai jalur perdagangan laut. Kemudian, kekuasaan berpindah ke tangan Inggris hingga abad ke-20, sebelum akhirnya negara-negara di kawasan, terutama Iran dan Oman, mulai menegaskan kedaulatannya atas jalur laut ini.
Selat Hormuz membentang sepanjang kurang lebih 96 kilometer dari barat ke timur, dengan lebar bervariasi antara 39 kilometer hingga 96 kilometer, tergantung titik yang diukur. Jalur pelayaran efektif yang digunakan kapal tanker modern hanya sekitar 3,2 kilometer untuk tiap arah, menjadikannya jalur yang sangat padat dan rentan terhadap gangguan.
Di sisi utara, wilayah perairan ini berada di bawah yurisdiksi Iran, sementara di sisi selatan, sebagian besar berbatasan dengan Oman dan Uni Emirat Arab. Meski secara geografis terbagi, selat ini merupakan perairan internasional dan tunduk pada hukum laut internasional, termasuk Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), meski Iran bukan pihak yang meratifikasinya. Lantas siapa sebenarnya pemilik Selat Hormuz?