Swasembada Beras Tercapai, Khudori Minta Pemerintah Definisikan Ulang Kemandirian Pangan

9 hours ago 4

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Pusat Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (Perhepi), Khudori, menilai Indonesia sebenarnya sudah lama mencapai swasembada beras. Ia menegaskan, jika swasembada dimaknai sebagai kemampuan memenuhi 90 persen kebutuhan dalam negeri dari produksi sendiri, maka kondisi itu telah berlangsung beberapa tahun terakhir.

Menurut pengamat pertanian ini, pemahaman mengenai swasembada pangan di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto cenderung mengacu pada pendekatan berbasis komoditas, bukan gizi. Pada tahap awal, fokus diarahkan pada komoditas padi dan jagung, sementara komoditas lain direncanakan menyusul pada tahun-tahun berikutnya.

“Untuk beras, kalau menggunakan definisi di atas, sebenarnya Indonesia sudah lama swasembada. Hanya pada tahun-tahun tertentu saja negara ini tidak swasembada,” ujar Khudori dalam catatan tertulisnya yang dikirimkan ke Republika.co.id, dikutip Selasa (21/10/2025).

Ia menjelaskan, data impor beras pada periode 2018–2024 menunjukkan rata-rata hanya 3,85 persen dari total konsumsi nasional. Persentase tertinggi terjadi pada 2024, yakni 15,03 persen. Namun, pada tahun-tahun lain porsi impor berada di bawah 10 persen. “Impor jagung pun selalu di bawah 10 persen,” tulis Khudori.

Menurut dia, capaian tersebut mengindikasikan kemampuan produksi domestik sudah cukup kuat untuk menopang kebutuhan nasional. Kondisi itu bahkan didukung oleh kinerja produksi tahun ini yang diperkirakan surplus lebih dari 3 juta ton, tertinggi sejak 2019. Produksi jagung pun naik sekitar delapan persen.

Khudori menilai, peningkatan produksi tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang menaikkan volume pupuk subsidi menjadi 9,5 juta ton serta memperlonggar penyalurannya. Cuaca yang bersahabat dan pengawalan ketat jajaran Kementerian Pertanian turut memperkuat capaian tersebut.

Namun, ia mengingatkan bahwa kenaikan produksi belum disertai dengan lonjakan inovasi dan teknologi di sektor pertanian. “Kenaikan produksi masih bertumpu pada penambahan luas panen,” ungkapnya. Produktivitas padi dalam beberapa tahun terakhir tetap stagnan di kisaran 5,2–5,3 ton per hektare, masih di bawah capaian Vietnam dan China.

Khudori kemudian mempertanyakan kejelasan makna swasembada pangan yang menjadi dasar kebijakan pemerintah. Ia menilai, hingga kini Presiden Prabowo dan jajaran Kabinet Merah Putih belum pernah menjelaskan secara eksplisit apa yang dimaksud dengan swasembada pangan.

“Tanpa kejelasan maksud swasembada pangan dan definisi swasembada, akan sulit bagi publik untuk menilai capaian, karena tidak ada patokan atau rujukan yang pasti,” tulis Khudori.

Menurut dia, perumusan swasembada pangan perlu memperhatikan ruang lingkup pangan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012, yang mencakup seluruh sumber hayati pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, baik yang diolah maupun tidak diolah. Dalam konteks itu, mustahil Indonesia mampu memenuhi semua kebutuhan pangan secara mandiri dari produksi dalam negeri.

Khudori menegaskan, tanpa kejelasan konsep dan arah, klaim swasembada pangan berpotensi semu. Ia mengingatkan pentingnya pemerintah mendefinisikan ulang kemandirian pangan agar publik dapat menilai capaian secara objektif, bukan sekadar berdasarkan data surplus satu atau dua komoditas.

Read Entire Article
Politics | | | |