REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Tarif dagang sebesar 19 persen oleh Amerika Serikat untuk produk Indonesia dinilai bisa menjadi peluang strategis bagi untuk menjaga kinerja ekspor dan memperkuat posisi di pasar AS. Apalagi, jika tarif yang ditetapkan untuk Indonesia lebih rendah dibandingkan sejumlah negara.
Hal itu disampaikan oleh Ekonom Senior Universitas Paramadina Wijayanto Samirin menanggapi hasil perundingan dagang terbaru antara kedua negara.
“Ini awal yang bagus, tentunya tergantung tingkat tarif yang diterapkan ke negara lain yang merupakan kompetitor Indonesia di pasar AS, misalnya Vietnam, Malaysia, Thailand, India dan Filipina. Karena ini tidak tentang Indonesia–AS saja, tetapi tentang kompetisi Indonesia dengan negara lain di pasar AS,” kata Samirin kepada Republika, Rabu (16/7/2025).
Meski ekspor ke AS hanya berkontribusi sekitar 9,9 persen dari total ekspor dan 2,2 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), ia menilai posisi neraca dagang Indonesia dengan AS sangat penting. “Surplus dagang dengan AS mewakili 45 persen total surplus, yang ini penting untuk menjaga nilai tukar rupiah,” ujarnya.
Menurut Samirin, potensi pelemahan sedikit pada surplus dagang akibat penyesuaian harga barang di pasar AS tetap membuka ruang bagi pelaku ekspor nasional untuk menjaga daya saing. “Nilai surplus dagang akan sedikit turun, ini karena kenaikan harga barang membuat konsumer di AS mengurangi belanja barang,” katanya.
Terkait komitmen pembelian produk AS oleh Indonesia, Samirin menilai langkah tersebut masih bisa dijalankan secara rasional. Total nilai komitmen pembelian mencakup sektor energi, pertanian, dan pesawat Boeing, dengan nilai mencapai hampir 20 miliar dolar AS.
“Ini juga tidak normal, tetapi bisa dijalankan. Yang penting kita harus memastikan periode realisasi komitmen tersebut realistis. Kemudian, kita membeli produk yang betul-betul kita perlukan, dan jangan sampai kesepakatan dagang dengan AS membuat China perlu melakukan retaliasi kepada Indonesia,” terangnya.
Ia menilai masuknya produk AS ke pasar Indonesia tidak akan berdampak langsung pada sektor pertanian dan energi domestik karena segmentasi pasar yang berbeda.
“Rasanya produk pertanian AS tidak berkompetisi langsung dengan Indonesia, energi juga kita memang membutuhkan. Di pasar dalam negeri, produk AS akan bersaing bukan dengan produk Indonesia, tetapi dengan produk China,” jelasnya.
Samirin juga menyoroti pentingnya kejelasan definisi transshipment dalam skema tarif AS agar tidak merugikan ekspor RI. Ia mencontohkan pengalaman Vietnam yang dikenai tarif hingga 40 persen untuk produk yang dianggap transshipment.
“Yang perlu dipastikan adalah, apa definisi transshipment. Kita berharap definisinya cukup longgar dan realistis. Misalnya, apakah produk yang dibuat di Indonesia menggunakan bahan baku dan bahan penolong dari China dianggap transshipment? Apakah perusahaan joint venture Indonesia–China yang berinvestasi di Indonesia, dengan bahan baku 100 persen dari dalam negeri, dianggap transshipment?” paparnya.
Ia menegaskan pentingnya Indonesia menjaga posisi tawar dengan tetap tenang menghadapi tekanan dagang. “Kita tidak mudah terprovokasi dan memberikan janji yang berlebih kepada AS. Selain itu, kita perlu lebih mengurangi ketergantungan kepada AS dengan membuka pasar negara lain, termasuk EU,” ucapnya.
Sebelumnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa Indonesia setuju tetap membayar tarif 19 persen atas ekspor ke AS. Sementara itu, produk AS bebas masuk ke pasar Indonesia. Dalam unggahannya di platform Truth Social, Trump juga menyebut Indonesia telah menyepakati pembelian energi, produk pertanian, dan 50 unit pesawat Boeing senilai hampir 20 miliar dolar AS.