
Makanan ultra-olahan merupakan bagian utama dari pola makan modern, terutama di tempat-tempat seperti Amerika Serikat, yang mana makanan tersebut mencakup hampir 60% dari kalori harian rata-rata orang.
Makanan ini sering kali praktis dan lezat, tetapi sebagian besar dibuat dari zat-zat yang telah banyak diubah dari bentuk aslinya—seperti lemak, pati, gula tambahan, dan minyak.
Banyak juga yang mengandung pewarna, perasa, dan pengawet buatan untuk meningkatkan masa simpan dan tampilannya.
Contoh makanan ultra-olahan meliputi makanan beku, minuman ringan, makanan ringan kemasan, mie instan, makanan cepat saji, sereal sarapan yang dimaniskan, dan daging olahan seperti hot dog dan daging olahan.
Meskipun makanan ini populer karena praktis dan rasanya, semakin banyak penelitian yang menemukan bahwa mengonsumsi banyak makanan ini dapat membahayakan kesehatan Anda.
Penelitian sebelumnya telah mengaitkan makanan ini dengan obesitas, kanker, penyakit jantung, kondisi radang usus, dan bahkan kematian dini.
Kini, sebuah studi baru menemukan bahwa makanan ini juga dapat berdampak buruk bagi otak Anda.
Para peneliti baru-baru ini menemukan bahwa mengonsumsi terlalu banyak makanan ultra-olahan dikaitkan dengan penurunan fungsi otak yang lebih cepat, terutama seiring bertambahnya usia.
Studi ini dilakukan sebagai bagian dari Brazilian Longitudinal Study of Adult Health, yang mengikuti lebih dari 10.000 orang dewasa dari waktu ke waktu untuk melihat perubahan kesehatan mereka.
Dalam studi ini, tim berfokus pada seberapa banyak makanan ultra-olahan yang dikonsumsi setiap orang dan bagaimana fungsi otak mereka berubah seiring waktu.
Hasilnya mengkhawatirkan. Orang yang memperoleh lebih dari 20% kalori harian mereka dari makanan ultra-olahan —sekitar 400 kalori dalam diet 2.000 kalori pada umumnya— mengalami penurunan kinerja otak secara keseluruhan sebesar 28% lebih cepat dan penurunan fungsi eksekutif sebesar 25% lebih cepat, yang mencakup keterampilan seperti perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengendalian diri.
Meskipun studi tersebut tidak membuktikan bahwa makanan ultra-olahan secara langsung menyebabkan penurunan kognitif, kaitannya cukup kuat untuk menimbulkan kekhawatiran.
Dr. David Katz, salah satu penulis studi tersebut, mencatat bahwa ada beberapa alasan untuk meyakini bahwa makanan ini mungkin berperan dalam mempercepat penuaan otak.
Makanan ultra-olahan cenderung mengandung banyak gula tambahan, lemak tak sehat, dan garam, tetapi rendah serat dan nutrisi.
Pola makan seperti ini dapat menyebabkan peradangan, kontrol gula darah yang buruk, dan masalah kesehatan lain yang juga dapat membahayakan otak.
Penting juga untuk dicatat bahwa makanan ultra-olahan menyumbang hampir 90% gula tambahan dalam pola makan orang Amerika, yang selanjutnya dapat meningkatkan risiko penurunan fungsi otak.
Makanan ini juga dapat menggantikan pilihan yang lebih bergizi, seperti buah-buahan, sayur-sayuran, biji-bijian utuh, dan lemak sehat—makanan yang telah terbukti mendukung kesehatan otak.
Meskipun penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami dengan tepat bagaimana makanan ultra-olahan memengaruhi otak, studi ini menambah kekhawatiran yang berkembang tentang dampak jangka panjang dari pola makan yang kaya akan makanan kemasan dan olahan.
Bagi orang yang ingin melindungi kesehatan otak mereka seiring bertambahnya usia, mengurangi makanan olahan dan mengonsumsi lebih banyak makanan utuh yang kaya nutrisi mungkin merupakan langkah yang cerdas.
Penelitian yang dilakukan oleh Dr. David Katz dan rekan-rekannya ini diterbitkan dalam JAMA Neurology dan merupakan bagian dari upaya yang lebih besar untuk memahami bagaimana faktor gaya hidup memengaruhi kesehatan otak dari waktu ke waktu.