Oleh: Fitriyan Zamzami
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hari Kamis, hujan tipis-tipis di Jakarta. Sore hari debu-debu sisa perjalanan orang-orang mulai luruh. Saat pegawai-pegawai bersiap pulang, anak-anak muda dengan seragam hitam-hitam justeru baru datang.
Satu demi satu, mereka penuhi itu seberang Istana Negara. Semakin sore, seratus lebih sudah berhimpun. Mereka bawa juga payung-payung hitam dan aneka poster. Beberapa lekas mengambil swafoto atau difoto rekan mereka dengan latar belakang poster dan bendera.
Di tengah kelimun, ada Imelda Yusuf. Lintas kota lintas provinsi, dari Tangerang ia datang. Sejak lepas SMA, sudah begitu sandangnya, abaya longgar dengan niqab yang hanya menyisakan mata dilihat orang-orang. Menyipit melebar saat tersenyum dan tertawa.
Ia tampak janggal di tengah anak-anak muda lainnya yang datang dengan sandang yang lebih “modis”. Sebagian dengan rambut bercat, lainnya ada tato di tangan, ada yang mengenakan singlet.
Imelda tak ambil pusing, karena pada dasarnya mereka membagi keresahan serupa. “Kita nggak boleh membiarkan Orde Baru terulang lagi,” kata dia saat ditemui Republika itu hari.
Ia lahir hanya berbilang bulan setelah Presiden Soeharto, yang diberi gelar Pahlawan oleh pemerintah baru-baru ini, dilengserkan pada 1998. Dari mana pula ia paham soal nelangsa zaman tersebut? “Pertama kan ada cerita orang tua sama kakek nenek. Orang nggak boleh bicara sembarangan. Setelah itu kita mencari tahu soal keadaan saat itu,” ia menjawab.
“Saya perempuan merdeka,” Imelda melanjutkan. Jika kebebasan adalah hal yang demikian sakral bagi anak muda, tak heran persepsi soal ancaman represifitas jadi hal yang menakutkan. Yang juga menakutkan adalah cerita-cerita soal kondisi ekonomi pada penghujung Orde Baru dan kerusuhan-kerusuhan yang menyertainya.
Ramainya aksi Kamisan belakangan menunjukkan ada semacam gelombang kesadaran sosial-politik yang menerpa anak-anak muda Tanah Air. Gen Z yang biasanya didefinisikan sebagai orang yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012 ternyata tak sedikit juga yang tak apatis terhadap isu-isu sosial-politik.
Sore hari di Jalan Medan Merdeka Utara itu, datang juga puluhan murid SMA swasta dari wilayah Menteng. Rerata 17 tahun usia mereka. “Kami ke sini menjaga ingatan,” ujar salah satunya saat didapuk memberikan orasi di acara Kamisan yang kesekian ratus itu ditimpali tepuk sorak yang hadir. “Kayaknya gara-gara media sosial, Om. Anak-anak sekarang pada melek lagi,” kata Andra, murid SMA lainnya yang datang.
Febriana Monita (28 tahun) mengamini fenomena tersebut. Tergabung di LSM Kontras, perempuan Toraja itu sudah aktif mengawal aksi Kamisan sejak beberapa tahun lalu. Dulu, ia menuturkan, gelaran yang berupaya menggugat pelanggaran HAM masa lalu tersebut tak sebegini banyak pesertanya.
“Pernah satu hari hanya lima orang yang datang,” kata dia. Kala itu ia bisa menanyai satu per satu peserta dari mana asal mereka untuk di data karena jumlahnya baru puluhan. “Sekarang kami sudah berhenti hitung karena saking banyaknya.” Lebih dari seratus sampai dua ratus orang, ia mengira-ngira.
Menurutnya, keramaian seperti saat ini dimulai menjelang dan selepas pemilu kemarin. Berbagai isu-isu kebijakan pemerintah sejak itu jadi sorotan anak-anak muda dan membuat ramai utamanya di media sosial. “Karena banyak platform sekarang di media sosial juga membuat banyak kawan-kawan lebih berani bersuara,” ujarnya.

2 hours ago
3












































