Zohran Mamdani dan Partisipasi Politik Minoritas

2 hours ago 2

Image Prof.Dr.Drs.KH.Mujar Ibnu Syarif,SH,M.A.g

Politik | 2025-11-12 13:42:42

Zohran Mamdani dan Partisipasi Politik Minoritas

Prof. Dr. Drs. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M. Ag

(Guru Besar FSH UIN Jakarta/Presiden Direktur Darussiyasah Foundation)

Dalam pesta kemenangan di Brooklyn, para pendukung Zohran Mamdani, terutama Warga Muslim di New York City, Amerika Serikat, ada yang bernyanyi sambil menari, bersorak dan saling berpelukan, beberapa di antaranya bahkan ada pula yang menangis penuh keharuan. Pesta kemenangan tersebut digelar setelah Zohran Mamdani, politisi Partai Demokrat yang berusia 34 tahun, terpilih sebagai wali kota New York (4/11/2025) yang baru menggantikan Wali kota sebelumnya, Eric Adams, setelah ia berhasil mengalahkan dua rivalnya, yakni mantan gubernur New York, Andrew Cuomo yang maju sebagai calon independen dan didukung penuh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, serta kandidat Partai Republik Curtis Sliwa. Mamdani kandidat Partai Demokrat yang berhaluan sosialis, berhasil menempati peringkat pertama pada Pemilihan Walikota New York dengan meraup 50,4 persen suara. Perolehan suara Mamdani tersebut jauh mengungguli dua kandidat saingannya, yaitu Andrew Cuomo yang hanya mampu meraih 41,6 persen suara dan Curtis Sliwa, yang hanya berhasil mengantongi 7,1 persen suara dukungan.

Dengan kemenangan tersebut, Mamdani telah mengukir sejarah sebagai Muslim pertama yang berhasil terpilih sebagai pemimpin tertinggi kota terbesar di Amerika Serikat, New York City, dalam rentang waktu lebih dari dua abad sejarah kota New York. Hasil ini disebut sejumlah pengamat politik Amerika Serikat sebagai salah satu kejutan politik terbesar di New York. Sementara Dewan Hubungan Amerika-Islam (Council on American-Islamic Relations) yang bermarkas besar di Capitol Hill, Washington, DC, menyebut kemenangan Mamdani sebagai “tonggak bersejarah” bagi partisipasi politik minoritas Muslim di Amerika Serikat.

Definisi Partisipasi Politik

Partisipasi politik secara luas berarti kegiatan warga negara yang dirancang untuk memengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Contoh dari kegiatan ini adalah mencalonkan diri untuk menduduki jabatan politik tertentu seperti jabatan sebagai presiden, gubernur, walikota, dan lain sebagainya, memberikan suara dalam pemilihan umum dan referendum, membantu kampanye politik, mengajukan petisi, berpartisipasi dalam demonstrasi dan aksi protes terhadap lembaga dan simbol-simbol negara, dan mendiskusikan masalah politik dengan teman, keluarga, kolega, atau rekan kerja.

Menurut Gregory H. Fox, hak partisipatif pertama kali dinyatakan secara formal dalam Deklarasi Universal pada tahun 1948. Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tahun 1976, adalah perjanjian yang paling sering dikutip di saat membincangkan diskursus seputar masalah partisipasi politik. Terutama Pasal 25 Kovenan tersebut yang menjamin hak seseorang untuk ikut serta dalam urusan politik, baik secara langsung atau pun melalui lembaga perwakilan.

Definisi Minoritas Muslim

Dalam Encyclopaedia Britannica, minoritas didefinisikan sebagai kelompok yang berbeda secara budaya, etnis, ras, ataupun agama yang hidup berdampingan namun berada di bawah kelompok yang lebih dominan. Jadi, minoritas Muslim merujuk pada sekelompok umat Islam yang jumlahnya lebih sedikit di suatu negara, dibandingkan dengan pemeluk agama lain. Pemeluk agama minoritas di Indonesia adalah Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sementara itu, jumlah pemeluk agama terbesar di Indonesia adalah Islam, yang mencapai 88 persen. Berbeda dengan di Indonesia, kaum Muslim di Amerika bukanlah warga mayoitas, tetapi termasuk warga minoritas. Menurut data Sensus pemeluk Agama Amerika Serikat tahun 2020, umat Islam dilaporkan hanya mewakili sekitar 1,34% dari total populasi Amerika Serikat. Sementara Penganut agama terbesar di Amerika Serikat adalah Kristen Protestan dengan persentase mencapai 51% dari keseluruhan penduduk Amerika Serikat. Khusus di kota New York, menurut data survei yang dirilis Pew Research Center pada tahun 2014, hanya baru terdapat 602.786 Muslim yang menetap di kota New York, atau sekitar 3% saja dari keseluruhan penduduk New York yang lebih kurang berjumlah 20 juta orang.

Kontroversi seputar Partisipasi Politik Minoritas Muslim

Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya kaum Muslim berpartisipasi politik di negara non-Muslim. Secara garis besar, pendapat mereka dalam masalah ini dapat dipetakan ke dalam dua kelompok. Pertama, kelompok yang menolak kaum Muslim berpartisipasi politik di negara-negara non-Muslim, terutama jabatan kepala negara. Penganut pendapat ini adalah al-Maududi. Dalam perspekif al-Maududi, partisipasi politik Kaum Muslim di negara non-Muslim merupakan salah satu bentuk pembangkangan terhadap Allah Swt dan Rasul-Nya. Karena itu, haram hukumnya bagi kaum Muslim untuk bepartisipasi politik di negara non-Muslim.

Menurut logika al-Maududi, semua Muslim, baik yang ada di India atau pun di negara-negara lainnya, yang berpartisipasi dalam pemerintahan non-Muslim adalah orang-orang yang telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya. Mereka menjalani hidup sebagai kaum murtad dan halal dibunuh karena hukuman yang setimpal dalam Islam bagi orang-orang yang telah keluar dari agamanya adalah hukuman mati. Al-Maududi berpendapat bahwa kaum Muslim di negara non-Islam harus menjauhkan diri dari proses pemerintahan. Karena Muslim yang baik tidak boleh turut serta dalam segala kegiatan yang berbau kekufuran, dan pemerintahan non-Islam, tentu saja mempunyai karakter seperti itu. Artinya, kaum Muslim lebih baik menjadi warga negara kelas dua tanpa menikmati hak-hak politik apa pun daripada harus menjadi bagian dari pemerintahan non-Islam yang beresiko terkena murka Tuhan.

Kelompok kedua, yaitu kelompok yang membolehkan kaum Muslim partisipasi politik di negara non-Muslim. Pendukung pendapat ini, antara lain adalah Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi, Grand Syeikh atau Imam Besar Universitas al-Azhar, Kairo. Pada tanggal 26 Mei 2006, bertempat di Ritz-Carlton, Singapura, minoritas Muslim Singapura meminta fatwa kepada Syeikh Muhammad Sayyid Tantawi, dengan mengajukan sebuah pertanyaan, “Bolehkah umat Islam Singapura berpartisipasi politik di negara non-Muslim Singapura tanpa merasa menjadi kurang Muslim, atau dapatkah mereka hidup berdampingan dengan masyarakat yang majemuk di tengah-tengah masyarakat yang multi-agama, tanpa harus mengorbankan nilai-nilai ke-islaman mereka?" Menanggapi pertanyaan tersebut, Sayyid Tantawi mengatakan, Jawabannya sangat jelas, "Ya, kaum Muslim diperbolehkan berpartisipasi politik di negara non-Muslim Singapura." Selain itu, Sayyid Tantawi menambahkan, adalah mungkin bagi minoritas Muslim untuk hidup dan berpartisipasi politik di sebuah negara dengan mayoritas non-Muslim, yang memungkinkan mereka untuk menciptakan suasana kehidupan yang penuh harmoni, kedamaian, keadilan, cinta kasih, dan kemakmuran, yang manfaatnya dapat dirasakan bersama, baik oleh warga negara Muslim maupun warga negara non-Muslim.

Keniscayaan Partisipasi Politik Minoritas Muslim

Dari kedua pendapat yang berbeda secara diametral, sebagaimana disinggung di muka, pendapat yang paling relevan diterapkan di masa kontemporer ini adalah pendapat yang kedua, yakni pendapat yang membolehkan kaum Muslim berpartisipasi politik di negara non-Muslim. Hal ini karena ikut berpartisipasi politik saja, kaum Muslim di negara-negara non-Muslim, belum tentu dapat dengan mudah menyalurkan aspirasi sosial politiknya, apalagi bila tidak berpartisipasi, tentu akan lebih sulit lagi bagi mereka untuk menyalurkan aspirasi sosial politiknya. Bila harus memilih, umat Islam yang menjadi warga negara non-Muslim sebaiknya turut berpartisipasi dan berusaha seoptimal mungkin untuk merebut jabatan-jabatan politik strategis, terutama jabatan sebagai kepala negara, sebagaimana kaum non-Muslim juga selalu berusaha untuk mendapatkan jabatan-jabatan politik strategis semacam itu di negara-negara Muslim.

Pendapat di atas relevan dengan tuntunan Al-Qur’an. Sebagaimana yang dikisahkan dalam Q.S. Yusuf (12): 55), bahwa di masa lalu, Nabi Yusuf a.s. pernah berpartisipasi dalam dunia politik menjadi bendahara atau menteri keuangan di negara Mesir yang kala itu dipimpin oleh raja non-Muslim, yakni Raja Heksus.

Selain pengalaman Nabi Yusuf a.s. di masa lalu, contoh karir politik Muslim yang sukses merebut jabatan politik strategis di masa kini adalah Abdul Pakir Jainul Abdeen Abdul Kalam, seorang minoritas Muslim yang pernah menjadi presiden di India yang mayoritas penduduknya beragama Hindu, dan Halimah Yacob, yang pernah dilantik menjadi presiden wanita Muslimah pertama di Singapura, dan yang paling anyar adalah kemenangan menakjubkan yang berhasil diraih anggota minoritas Muslim, Zohran Mamdani, dalam kompetisi demokrasi guna memperebutkan kursi Walikota New York, Amerika Serikat. Adalah sebuah prestasi yang patut dibanggakan dan diteladani bila ada warga negara minoritas Muslim yang dapat meniti karir politik hingga berhasil menduduki jabatan-jabatan politik strategis di negara-negara non-Muslim.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |