
Oleh : Prof Ema Utami (Direktur Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Amikom Yogyakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, Pekan lalu, Universitas Amikom Yogyakarta kembali menjalani proses evaluasi eksternal dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) sebagai bagian dari reakreditasi institusi. Bagi sebuah perguruan tinggi, tentu status akreditasi bukan hanya formalitas administratif namun merupakan sebuah indikator kualitas yang berpengaruh besar terhadap keberlangsungan dan reputasi perguruan tinggi tersebut.
Akreditasi Institusi Perguruan Tinggi (AIPT) bahkan sering menjadi salah satu faktor penting yang dipertimbangkan calon mahasiswa sebelum memilih perguruan tinggi. Penilaian ini mencerminkan bagaimana sebuah perguruan tinggi dikelola, mulai dari input, proses penyelenggaraan pendidikan, hingga outcome seperti mutu lulusan dan kontribusi akademik. Dengan demikian, hasil akreditasi dapat menjadi cermin mutu institusi secara keseluruhan.
Proses AIPT yang dilakukan oleh BAN-PT merupakan bentuk evaluasi eksternal terhadap berjalannya sistem penjaminan mutu internal (SPMI) sebuah perguruan tinggi. Salah satu asesor menyampaikan bahwa SPMI menjadi faktor utama dalam penilaian AIPT. Apa yang beliau sampaikan tentu saja sangat bisa diterima, karena SPMI pada dasarnya adalah mesin yang memastikan seluruh kegiatan akademik dan non-akademik berjalan sesuai standar mutu yang telah ditetapkan perguruan tinggi.
Jika SPMI bekerja dengan baik, maka setiap aktivitas, mulai dari perencanaan kurikulum, rekrutmen dosen, proses belajar mengajar, penelitian, pengabdian kepada masyarakat, hingga layanan mahasiswa menjadi terintegrasi dalam siklus perbaikan berkelanjutan, continuous quality improvement atau juga dikenal dengan siklus Penetapan, Pelaksanaan, Evaluasi, Pengendalian, dan Peningkatan (PPEPP). Dengan kata lain, kualitas bukan muncul karena momentum tertentu menjelang akreditasi, tetapi karena sistem dan budaya mutu yang sudah tertanam dalam keseharian pengelolaan institusi.
Akreditasi merupakan proses berkelanjutan yang diharapkan dapat membentuk budaya yang membuat seluruh sivitas akademika terbiasa berpikir kritis, bekerja sistematis, dan selalu berorientasi pada perbaikan. Dalam praktik asesmen lapangan, BAN-PT selain menilai dokumen dalam bentuk Laporan Evaluasi Diri (LED) dan Laporan Kinerja Perguruan Tinggi (LKPT), juga keselarasan antara apa yang tertulis dengan apa yang benar-benar terjadi di lapangan.
Wawancara dengan pimpinan perguruan tinggi, pimpinan satuan kerja atau direktorat, dosen, tenaga kependidikan, alumni, pengguna alumni, dan mahasiswa menjadi bagian penting untuk memastikan bahwa mutu yang diklaim benar-benar dihayati dan dijalankan. Di sinilah aspek trust dan evidence-based assessment memainkan peran besar sehingga proses akreditasi merupakan validasi sebuah realitas yang ada.
Sudah barang tentu bagi sebagian besar perguruan tinggi, proses AIPT ini mungkin terasa melelahkan, rumit, atau bahkan menegangkan. Namun jika dilihat dari perspektif yang lebih luas, AIPT sesungguhnya menjadi sebuah momentum refleksi diri bagi institusi. Setelah selesainya proses asesmen lapangan dan sembari menunggu hasil akhir yang akan ditetapkan dapat menjadi momen tepat untuk meninjau ulang capaian, memperbaiki kelemahan yang ada, serta merumuskan langkah strategis agar perguruan tinggi semakin berkembang dan maju. Di tengah dinamika pendidikan tinggi yang terus dituntut untuk adaptif dengan segala perubahan, AIPT menjadi salah satu kompas yang membantu perguruan tinggi tetap berada di jalur mutu.
Proses AIPT memberikan gambaran mengenai kesiapan perguruan tinggi dalam menghadapi tantangan baru dan tuntutan dunia kerja yang semakin kompleks. Dengan demikian, proses akreditasi tidak hanya relevan bagi institusi sebagai penyelenggara pendidikan, tetapi juga bagi mahasiswa, orang tua, dan masyarakat yang mempercayakan masa depan pendidikannya kepada perguruan tinggi.
Akreditasi bukanlah sekadar agenda rutin institusi atau tugas segelintir unit tertentu, namun menjadi tanggung jawab kolektif seluruh sivitas akademika. Setiap individu mulai dari pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, maupun mahasiswa, masing-masing memegang peran penting dalam menjaga dan meningkatkan mutu perguruan tinggi.
Memiliki sikap mau menerima masukan, berani mengakui kekurangan, dan bertanggung jawab atas tugas yang diemban menjadi fondasi utama dalam membangun budaya mutu yang sehat. Dengan tidak menutup mata dan telinga terhadap berbagai kelemahan yang ada, perguruan tinggi dapat terus bergerak menuju perbaikan berkelanjutan. Upaya peningkatan mutu hanya akan bermakna ketika diiringi kesadaran dan kerja bersama. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS. Ar-Ra’d ayat ke-11, “Baginya (manusia) ada (malaikat-malaikat) yang menyertainya secara bergiliran dari depan dan belakangnya yang menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka. Apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, tidak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” Wallāhu a‘lam.

8 hours ago
2















































