Banjir Sumatera, Krisis Komunikasi Publik, dan Upaya Merebut Kembali Ruang Demokrasi

3 hours ago 7

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Pratiwi Utami (Dosen Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada)

Jika kanal demokrasi melemah dan negara semakin tidak responsif pada suara publik, bagaimana masyarakat sipil tetap bisa berpartisipasi untuk mempertahankan ruang sipil dan martabat kewargaan? Pertanyaan ini sangat mendesak untuk dijawab hari ini di Indonesia, ketika kritik publik kerap dibalas dengan kriminalisasi, regulasi tanpa partisipasi warga, atau bahkan keheningan negara. Dalam kondisi seperti ini, partisipasi politik sering direduksi menjadi sekadar ekspresi di media sosial: riuh sesaat, lalu menghilang tanpa jejak dan dampak.

Banjir besar yang melanda berbagai wilayah Sumatera di penghujung tahun ini memperlihatkan wajah partisipasi publik yang berbeda. Banjir Sumatera sendiri bukan semata persoalan bencana lingkungan dan buruknya tata kelola kebijakan, melainkan juga krisis komunikasi politik. Negara gagal menjelaskan akar masalah, gagal mendengar suara warga terdampak, dan gagal membangun kepercayaan publik.

Pada saat yang sama, masyarakat sipil justru menunjukkan kapasitas partisipasi luar biasa, yang dalam banyak hal lebih cepat, lebih konsisten, dan lebih berempati dibanding respons pemerintah. Di sinilah terlihat bahwa ketika ruang demokrasi semakin sempit, partisipasi warga tidaklah melemah – hanya bentuknya yang berubah.

Ruang Sipil yang Menyempit

Respons negara terhadap banjir Sumatera memperlihatkan bagaimana ruang demokratis bagi warga sipil menyempit. Penyempitan ini tidak selalu hadir dalam bentuk pelarangan terang-terangan, melainkan melalui mekanisme yang halus namun sistematis.

Dalam kasus banjir Sumatera, negara sebagai pemegang kuasa diskursif membingkai bencana banjir sebagai musibah alam akibat cuaca ekstrem. Pemerintah bahkan sempat menyatakan bahwa dampaknya tidak parah-parah amat dan hanya tampak mencekam di media sosial saja sehingga tidak perlu ditetapkan sebagai bencana nasional. Padahal, hingga saat ini banjir bandang Sumatera telah menelan 1.016 korban jiwa, menyebabkan sekitar 12.000 luka-luka, dan memaksa setidaknya 780 ribu mengungsi.

Namun, keterkaitan bencana ini dengan deforestasi, pembalakan hutan, dan ekspansi sawit tidak diakui secara terbuka. Narasi resmi pemerintah cenderung mengecilkan penderitaan korban sekaligus mengabaikan kritik terhadap tata kelola industri ekstraktif maupun kebutuhan mendesak korban bencana.

Dalam kerangka komunikasi politik, ini adalah bentuk kegagalan komunikasi krisis. Negara tidak hanya lamban bertindak, tetapi juga gagal membangun narasi yang jujur dan empatik. Akibatnya, kepercayaan publik runtuh bukan semata karena kebijakan yang buruk, tetapi karena warga merasa tidak diakui sebagai subjek yang terdampak.

Penyempitan ruang sipil kemudian diperkuat lewat mekanisme prosedural.

Penggalangan dana dan distribusi bantuan oleh warga sipil dipersulit oleh perizinan dan birokrasi. Kritik di ruang digital dibalas dengan delegitimasi melalui serangan buzzer, pembungkaman, atau ancaman sanksi pidana. Selama banjir Sumatera ini, ruang demokrasi dibuat melelahkan dan berisiko, baik secara fisik maupun komunikatif.

Solidaritas Warga sebagai Infrastruktur Partisipasi

Di tengah kegagalan negara tersebut, respons masyarakat sipil terhadap banjir Sumatera justru menunjukkan tingkat keseriusan dan efektivitas yang mencolok. Warga, pemengaruh media sosial, relawan, komunitas lokal, hingga sejumlah pelaku usaha bergerak cepat menggalang dana, membuka dapur umum, menyalurkan logistik, dan membantu evakuasi. Dalam banyak kasus, bantuan warga tiba lebih awal dan menjangkau wilayah lebih luas dibandingkan intervensi negara.

Sejumlah figur media sosial, seperti Prazt Teguh dan Ferry Irwandi, berhasil menggalang donasi untuk Sumatera melalui platform Kitabisa.com hingga mencapai miliaran rupiah dalam waktu singkat. Lembaga pengelola dana komunitas Baitul Mal Merapi Merbabu, yang dipimpin dai Salim A. Fillah, bekerja sama dengan Paragon Corp – perusahaan kosmetik dan perawatan kulit nasional – mengirimkan puluhan ton bantuan ke wilayah terdampak. Upaya serupa dilakukan oleh berbagai relawan perorangan, komunitas, dan pemengaruh media sosial lainnya yang secara mandiri menghimpun dan menyalurkan bantuan.

Kepedulian kolektif ini tidak hanya berlangsung di lapangan, tetapi juga dibangun melalui komunikasi. Media sosial berfungsi sebagai infrastruktur sipil alternatif: menghubungkan donatur dengan relawan, warga terdampak dengan jurnalis, dan komunitas lokal dengan jaringan yang lebih luas.

Selain bantuan darurat, laporan langsung dari relawan di lokasi bencana yang tersebar di media sosial berperan kebih dari sekadar konten viral. Video banjir lumpur, jembatan putus, tumpukan kayu gelondongan, serta kesaksian warga, adalah bentuk kontestasi naratif sekaligus resistensi. Dokumentasi ini merebut kembali makna tentang apa yang sebenarnya terjadi dan siapa yang bertanggung jawab. Ketika negara gagal membangun narasi yang kredibel, warga mengisinya dengan cerita dan pengalaman langsung. Di titik ini, kepercayaan publik pun bergeser: dari otoritas formal menuju resonansi dan kejujuran narasi warga.

Dari Konten Viral ke Ketahanan Warga

Pengalaman banjir Sumatera menunjukkan bahwa upaya merebut kembali ruang demokratis tidak cukup dengan kritik dan menjadi “berisik” di media sosial. Solidaritas warga perlu diterjemahkan menjadi praktik sosial yang lebih terorganisir dan berjangka panjang. Di sinilah pergeseran dari aktivisme sesaat menuju pengorganisasian warga berbasis komunitas menjadi penting.

Keberhasilan Ferry Irwandi menggalang dana hingga 10 miliar rupiah dalam waktu 24 jam membuktikan bahwa infrastruktur sipil bergerak di atas jaringan komunikasi berbasis kepercayaan. Namun, peran Ferry sebagai individu tidak boleh diposisikan sebagai pusat tunggal gerakan. Agar praktik saling menopang ini berkelanjutan, kepemimpinan lokal yang kolektif dan cair harus diperkuat. Dalam konteks represi terhadap aktivis dan suara kritis, strategi ini menjadi krusial. Mudah bagi negara untuk menekan individu, tetapi jauh lebih sulit membungkam komunitas yang terorganisir, saling percaya, dan saling merawat.

Dalam situasi ketika negara lamban melayani dan gagal berkomunikasi seperti saat banjir Sumatera, perjuangan masyarakat sipil tidak semata soal memenangkan kebijakan atau menekan negara. Titik perjuangan ada pada hak untuk terus hadir sebagai warga yang bermartabat: hak untuk saling menolong, menyuarakan kebenaran, dan merawat kehidupan bersama ketika negara gagal menjalankan fungsinya.

Banjir Sumatera mengingatkan kita bahwa meski ruang demokrasi menyempit, partisipasi warga tidak akan hilang. Selama masyarakat sipil mampu membangun makna bersama, merawat kepercayaan, dan mengubah jejaring kepedulian menjadi praktik kolektif, ruang demokrasi itu terus hidup. Ia tumbuh perlahan dari bawah, berakar di komunitas, dan bertahan dalam rajutan solidaritas.

Read Entire Article
Politics | | | |