Belajar Feminisme dari Oh Ae-sun: Ketika Kuliah Sosiologi Sastra Membuka Cara Pandang Saya

21 hours ago 5

Image Linda Fauziyyah

Sastra | 2025-05-29 22:10:26

Saya tak pernah menyangka, kelas Sosiologi Sastra bisa mengubah cara saya menonton drama Korea. Sebelumnya, saya menonton When Life Gives You Tangerines hanya untuk melepas lelah. Namun, setelah 16 pertemuan bersama Dr. Moh. Ahsan Shohifur Rizal di UNESA, saya mulai melihat bahwa fiksi bukan sekadar hiburan. Ia menyimpan ideologi, nilai, dan representasi sosial, terutama bagaimana perempuan digambarkan, diberi ruang, atau justru dibungkam.

Oh Ae-sun dan Refleksi Perempuan “Biasa”

Dalam drama tersebut, Oh Ae-sun bukan tokoh perempuan “sempurna”. Ia keras kepala, sensitif, dan kadang ceroboh. Tapi justru dari ketidaksempurnaannya itulah saya merasa ia lebih nyata. Ia bukan tokoh pahlawan, tapi perempuan biasa yang perlahan menyadari bahwa hidupnya selama ini dibatasi oleh norma patriarki: tinggal bersama mertua, tidak boleh bersuara, harus selalu menuruti suami.

Yang menarik, perubahan Ae-sun tidak datang dari komunitas perempuan, tapi dari relasi sehat dengan pasangannya, Yang Gwan-sik. Sosok laki-laki ini hadir sebagai pasangan suportif yang tidak merasa perlu “mengizinkan” istrinya berkembang. Ia diam, tapi memahami. Inilah bentuk hubungan yang menurut saya sesuai dengan semangat feminisme kontemporer: setara dan saling mendukung.

Membaca Sastra sebagai Cermin Sosial

Dalam kelas, kami mempelajari pendapat Alan Swingewood bahwa sastra adalah cermin masyarakat, walau kadang cermin itu retak. Drama Tangerines menjadi refleksi bagaimana norma patriarki bekerja secara halus. Lewat gestur, tradisi keluarga, dan percakapan sehari-hari, drama ini mengajak kita bertanya: mengapa perempuan harus menanggung beban lebih banyak? Mengapa suara mereka jarang dianggap penting?

Simone de Beauvoir, tokoh penting dalam feminisme, menyebut bahwa perempuan selama ini diposisikan sebagai “the Other”, bukan sebagai subjek yang utuh. Dalam drama ini, Ae-sun perlahan keluar dari posisi itu. Ia mulai berkata “tidak”, mulai membuat keputusan, dan yang paling penting, mulai menyuarakan dirinya.

Ideologi yang Halus, Kritik yang Kuat

Kami juga mempelajari teori Louis Althusser yang menyebutkan bahwa ideologi bekerja secara halus, tidak terasa sebagai paksaan. Dan benar, dalam Tangerines, patriarki tidak hadir sebagai kekerasan fisik, tapi sebagai hal “biasa”: perempuan harus patuh, laki-laki harus memimpin, anak harus menurut. Semua dikemas dalam narasi yang akrab.

Namun justru dari hal-hal yang terlihat biasa itulah, drama ini menghadirkan kritik. Ae-sun tidak membawa spanduk “Smash the Patriarchy!”, tapi pilihannya untuk bekerja, tinggal mandiri, dan bertanya pada orang tuanya adalah bentuk pembebasan personal yang sangat politis.

Dari Kelas Menuju Kesadaran Budaya

Kuliah Sosiologi Sastra bukan hanya soal teori. Ia mengubah cara saya memandang cerita dan pada akhirnya, memandang hidup. Kini saya lebih kritis: siapa yang berbicara dalam cerita? Siapa yang didiamkan? Siapa yang diberi ruang untuk berkembang?

Saya sadar bahwa feminisme bukan soal membenci laki-laki, tapi tentang memperjuangkan relasi yang adil. Seperti hubungan Ae-sun dan Gwan-sik, yang dibangun bukan di atas dominasi, tapi atas dasar saling percaya.

Menjadi Manusia yang Lebih Adil

Saya belum bisa menyebut diri feminis. Tapi saya percaya, memahami feminisme, walau dari drama Korea, bisa membuat saya jadi manusia yang lebih peka. Saya belajar mendengar suara-suara yang selama ini tidak terdengar. Semua itu dimulai dari kelas kecil, dari diskusi hangat, dan dari satu cerita tentang sebutir jeruk tangerine.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |