Bulan Safar dalam Islam: Meluruskan Mitos dan Menggali Hikmah

5 hours ago 5

Image mufti hikamuddin

Agama | 2025-07-09 16:13:50

Ilustrasi gambar menceritakan tentang kepercayaan manusia terhadap mitos di bulan Safar. Foto oleh penulis (dokumen pribadi)

Di antara dua belas bulan dalam kalender Hijriah, bulan Safar kerap menjadi bulan yang disalahpahami. Sebagian masyarakat masih meyakini bahwa Safar adalah bulan sial, penuh musibah, dan pantang untuk menggelar pernikahan atau memulai perjalanan. Keyakinan ini berakar dari tradisi jahiliyah yang diwariskan turun-temurun, meskipun tidak memiliki dasar dalam ajaran Islam. Padahal, Islam datang untuk menghapus mitos semacam itu dan membebaskan manusia dari rasa takut kepada waktu yang dianggap membawa nasib buruk. Melalui penjelasan hadis-hadis shahih dan pandangan para ulama, umat Islam diajak untuk meluruskan pemahaman dan menggali hikmah dari hadirnya bulan Safar bulan yang sebenarnya sama mulianya dengan bulan-bulan lainnya dalam pandangan syariat.

Pandangan Islam terhadap Bulan Safar

Islam datang untuk menghapus berbagai bentuk takhayyul, khurafat, dan kepercayaan yang tidak berdasar, termasuk anggapan sial terhadap bulan Safar. Dalam banyak hadis, Rasulullah SAW secara tegas membantah anggapan negatif terhadap bulan ini.

Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda:

"Tidak ada 'adwa (penularan penyakit tanpa izin Allah), tidak ada thiyarah (pertanda buruk dari burung atau benda), tidak ada hamah, dan tidak ada kesialan pada bulan Safar."(HR. al-Bukhari, no. 5707; Muslim, no. 2220)

Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan bahwa maksud hadis ini adalah pengingkaran terhadap kepercayaan masyarakat Arab jahiliyah yang menganggap bulan Safar membawa keburukan. Islam menegaskan bahwa semua hari dan bulan adalah sama dalam kekuasaan Allah, dan tidak ada bulan yang membawa keberuntungan atau kesialan dengan sendirinya.

Mengapa Mitos Bulan Safar Berkembang?

Beberapa ahli sejarah menyebutkan bahwa masyarakat Arab jahiliyah sering mengalami kesulitan ekonomi dan kekacauan sosial setelah bulan Muharram, yang mereka jadikan bulan larangan perang. Ketika bulan Safar tiba, mereka kembali melakukan ekspedisi, peperangan, dan perdagangan. Oleh karena itu, banyak peristiwa besar atau musibah terjadi di bulan ini, sehingga mereka menganggapnya sebagai bulan sial.

Namun, anggapan ini tidak memiliki dasar dalam syariat, dan termasuk bentuk kesyirikan kecil (syirik asghar) jika diyakini secara berlebihan. Karena itu, Rasulullah SAW membimbing umatnya untuk menggantungkan nasib hanya kepada Allah, bukan pada waktu, benda, atau tempat

Amalan di Bulan Safar

Islam tidak menetapkan amalan khusus di bulan Safar sebagaimana yang ada di bulan Ramadhan, Dzulhijjah, atau Muharram. Namun, karena bulan Safar adalah bulan yang netral, maka semua bentuk ibadah tetap bisa dilakukan sebagaimana biasanya, seperti:

1. Puasa sunnah Senin-Kamis.

2. Shalat Dhuha, Tahajud, dan Rawatib.

3. Membaca Al-Qur’an.

4. Sedekah dan amal sosial.

5. Menikah atau bepergian (diperbolehkan dan tidak makruh).

Justru, meninggalkan pernikahan atau perjalanan karena takut sial di bulan Safar bertentangan dengan ajaran Islam.

Islam adalah agama yang membebaskan manusia dari belenggu takhayul dan mitos. Anggapan bahwa bulan Safar adalah bulan sial adalah warisan jahiliyah yang bertentangan dengan ajaran tauhid. Umat Islam diajarkan untuk bertawakal kepada Allah dalam setiap urusan, bukan kepada waktu atau benda. Setiap bulan adalah ciptaan Allah yang penuh keberkahan, termasuk bulan Safar. Maka mari manfaatkan bulan ini dengan memperbanyak ibadah, meningkatkan ilmu, dan menyebarkan pemahaman yang benar di tengah masyarakat.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |