
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Bayangkan ini: Anda sedang berjalan-jalan di tepi pantai Gresik, di lokasi milik Berlian Manyar Sejahtera (BMS) menikmati semilir angin laut, ketika tiba-tiba seseorang berseru, “Lihat! Ada fosil Homo erectus di bawah sandal jepit saya!” Bukan, ini bukan lelucon dari acara televisi sains populer yang sudah kedaluwarsa. Ini sungguh terjadi.
Lebih dari 6000 fosil vertebrata, termasuk dua potongan tengkorak Homo erectus, muncul dari gundukan pasir reklamasi pantai yang diambil dari dasar laut di Selat Madura.
Temuan ini bukan hanya menggemparkan dunia arkeologi, tapi juga menyengat nurani kita yang terlalu sering membiarkan warisan sejarah terpendam—secara harfiah.
Baca juga: Mitsubishi Destinator Segera Diluncurkan, Juara Indonesia Idol Jadi Pemilik Pertama
Antara tahun 2014 hingga 2015, lebih dari 5 juta meter kubik pasir disedot dari dasar laut Selat Madura untuk proyek reklamasi pantai Gresik. Seharusnya ini urusan pembangunan biasa —sedot pasir, timbun daratan, bangun pelabuhan atau perumahan.
Tapi ternyata, pasir itu lebih banyak berisi kenangan purba daripada butiran silika biasa. Dari lokasi reklamasi, terkumpul lebih dari 6000 fosil yang mencakup ikan, reptil, mamalia, dan, kejutan paling besar: dua fragmen tengkorak Homo erectus.
Kalau Anda berpikir ini seperti menemukan berlian dalam tumpukan pasir, Anda tidak salah. Bahkan bisa dibilang kita menemukan museum alam yang terkubur di bawah laut —lengkap dengan pemandu wisata purba bernama Homo erectus.
Baca juga: Peringati Hari Tanpa Tembakau Sedunia, Depok Edukasi Kawasan Tanpa Rokok di CFD
Studi ini dipimpin dan dibiayai sendiri oleh Harold Berghuis dari Universitas Leiden dan dipublikasikan dalam jurnal _Quaternary Environments and Humans_ pada tahun 2025. Lokasi fosil ini terletak di dalam lembah kuno Sungai Solo yang kini terendam laut.
Berdasarkan penanggalan OSL _(Optically Stimulated Luminescence),_ usia fosil-fosil ini diperkirakan antara 119.000 hingga 162.000 tahun silam. Tepatnya, saat Homo erectus masih aktif berburu bovid dan mengunyah sumsum tulang di tepi sungai purba.
Lebih menarik lagi, wilayah ini dulunya adalah daratan bernama Sundaland —sebuah negeri dongeng yang dulu nyata, tempat daratan Kalimantan, Jawa, dan Sumatra saling bersatu dan Homo erectus tampaknya berpelesir lintas pulau tanpa perlu naik kapal ferry.
Kalau kita menyebut “Sunda”, orang Indonesia langsung mengingat tanah Priangan, kampung halaman soto Bandung, sinden, dan segala yang berbau lembut, wangi, dan penuh petatah petitih. Tapi tunggu dulu. “Sundaland” bukanlah perpanjangan geografis dari Jawa Barat yang sedang ekspansi wilayah, melainkan istilah geologis dan paleogeografis yang mencakup kawasan yang sangat luas—dan ironisnya, sebagian besar sekarang terendam laut.
Sundaland adalah sebuah istilah yang digunakan oleh para ahli geologi dan paleoantropologi untuk merujuk pada dataran rendah luas yang dulu (sekitar 140.000 hingga 12.000 tahun lalu) menghubungkan daratan Asia Tenggara daratan (Vietnam, Thailand, Malaysia) dengan pulau-pulau besar di barat Indonesia seperti Sumatra, Jawa, dan Kalimantan.
Saat zaman es _(glacial period)_ mencapai puncaknya, air laut surut karena air membeku menjadi gletser di kutub, dan kawasan yang kini menjadi dasar Laut Jawa, Selat Malaka, hingga Selat Karimata adalah tanah kering tempat Homo erectus bisa ngopi-ngopi sambil berburu bovid.
Jadi kalau ada yang berkata: “Nenek moyang kita pelaut!”, si Homo erectus mungkin akan menjawab, “Pelaut apaan? Saya dulu jalan kaki dari Laos ke Lamongan!” Tapi kenapa namanya “Sundaland”?
Pertama, perlu kita akui: bukan orang Sunda yang menamainya. Bukan juga hasil musyawarah adat para kasepuhan di Cirebon. Nama ini diciptakan oleh para ilmuwan barat, terutama geolog dan ahli biogeografi abad ke-19 dan awal abad ke-20, untuk membedakan landmass (mari pakai istilah keren mereka) antara bagian barat Nusantara yang masih terhubung dengan daratan Asia (Sundaland) dan bagian timur yang berbeda geologi dan biota-nya (Wallacea dan Sahul).
Baca juga: Catatan Cak AT: Wajah Beethoven Setelah Dua Abad
Nama “Sunda” sendiri diambil dari pulau-pulau Sunda (Sunda Islands)—istilah yang sudah lebih dulu dibuat oleh kolonial Belanda dan Eropa untuk menyebut gugusan pulau di selatan Asia Tenggara. Jadi ya, semacam warisan tata nama kolonial yang tetap awet sampai sekarang karena ilmuwan suka sekali konsisten... meski kadang tidak masuk akal dari sudut pandang lokal.
Sundaland pada masa Homo erectus mirip savana Afrika modern. Jadi bayangkan, sebelum ada sawah dan TikTok, wilayah ini terdiri dari padang rumput luas, hutan riparian di sepanjang sungai-sungai besar, dan dipenuhi fauna: gajah purba, badak, banteng liar, hiu sungai, bahkan komodo pemangsa yang (waktu itu) belum mengenal kata konservasi.
Sementara Homo erectus —yang sebelumnya dianggap makhluk setengah kikuk— ternyata berburu dengan cukup elegan. Mereka memecah tulang untuk mengisap sumsum, dan mungkin berdiplomasi genetik dengan manusia purba lainnya. (Kalau sekarang sih istilahnya _matchmaking_ antar-spesies).
Jadi apa arti penting semua ini? Temuan ini membuka lembaran baru dalam sejarah manusia purba di Asia Tenggara. Kita selama ini terlalu fokus pada situs-situs daratan seperti Sangiran atau Trinil. Sekarang, fosil Homo erectus dari bawah laut membuktikan bahwa masa lalu kita tidak hanya tersimpan di tanah, tetapi juga tersembunyi di dasar laut.
Baca juga: Karya Para Desainer Depok Tampil Memukau di Catwalk IFW 2025
Dengan kata lain, jika ada homo erectus di Selat Madura, maka wajar saja kalau orang Gresik sekarang doyan mikir keras. Mereka keturunan pemikir purba —dengan sedikit modifikasi genetik.
Jika Sundaland bisa bicara, mungkin ia akan berkata, “Aku pernah menjadi daratan yang dilalui para pemburu, kini aku dilalui kapal-kapal keruk pasir. Tapi tetap saja, aku menyimpan rahasia tentang siapa kita sebenarnya.”
Dan ya, Sundaland itu bukan hanya milik orang Sunda. Tapi kita semua berutang padanya—karena di sanalah, mungkin, sejarah kita dimulai.
Temuan ini menohok pemahaman kita sebelumnya. Selama ini Homo erectus dianggap sebagai "anak rumahan" yang setia tinggal di Jawa. Tapi kini terbukti mereka adalah petualang sejati yang menyusuri dataran rendah Sundaland ketika laut surut. Mereka tidak sekadar hidup, tapi juga berburu hewan kuat dan sehat, sesuatu yang sebelumnya dianggap hanya dilakukan oleh manusia modern.
Baca juga: Catatan Cak AT: Berhaji Itu Undangan Menjadi Tamu Allah
Berghuis menyebutkan bahwa pola konsumsi mereka—memakan sumsum tulang dan memotong kura-kura air—menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa. Bahkan, ada kemungkinan terjadi pertukaran budaya (atau genetik?) dengan kelompok manusia purba lain dari daratan Asia.
Fosil-fosil ini kini disimpan di Museum Geologi Bandung. Pihak museum merencanakan pameran yang akan menampilkan hasil temuan secara lebih luas—semoga tidak hanya jadi ruang ber-AC dengan tulisan “Dilarang Menyentuh” tapi juga jadi ruang refleksi: bagaimana kita melihat masa lalu untuk memahami masa depan.
Tapi mari jujur. Temuan ini bukan sekadar urusan akademik atau berita sensasional. Ia adalah panggilan untuk menghargai warisan geologi dan arkeologi kita. Jangan sampai lautan sejarah ini kembali tertimbun dalam debu proyek pembangunan tanpa sempat kita gali maknanya.
Baca juga: Tragis! Mahasiswa Yatim Berprestasi SMAN 1 Depok Tewas Ditabrak, Korban dan Pelaku Mahasiswa UGM
Kini kita tahu bahwa di bawah laut Selat Madura, terkubur lebih dari sekadar pasir reklamasi—terkubur cerita tentang manusia, tentang leluhur kita yang ternyata sudah piawai menavigasi dataran purba yang kini menjadi laut. Jadi, lain kali Anda menginjak pasir pantai Gresik, ingatlah: Anda mungkin sedang berdiri di atas atap rumah Homo erectus.
Dan jika suatu hari kita berhasil mengembangkan teknologi perjalanan waktu, mari jangan buru-buru ke masa depan. Ajaklah Homo erectus ngopi dulu, siapa tahu mereka punya cerita yang lebih seru dari Netflix—tentang perburuan bovid, pertemuan antar spesies, atau mungkin... asal usul cinta pertama di zaman Pleistosen.
Lalu apa yang mesti kita lakukan? Berhenti menganggap laut sebagai tempat buang sampah dan reklamasi tanpa kajian. Di bawah pasir bisa jadi ada sejarah manusia. Jangan sampai sejarah dilenyapkan demi real estate.
Baca juga: Catatan Cak AT: Saatnya Dam Haji di Negeri Sendiri
Kita perlu mendukung riset-riset arkeologis bawah laut. Jangan cuma beri anggaran untuk “destinasi wisata digital” yang nyaris tidak menyentuh akar sejarah. Gandeng masyarakat lokal. Jadikan temuan ini sebagai kebanggaan bersama, bukan hanya milik jurnal-jurnal luar negeri.
Terus, ajari anak-anak bahwa sejarah Indonesia bukan dimulai dari kerajaan atau VOC, tapi dari Homo erectus yang menatap lembah Sungai Solo 140.000 tahun lalu, mungkin sambil berpikir, “Dari sini saya akan mulai...” (***)
Catatan Akhir:
- Temuan ini adalah hasil kerja sama internasional yang melibatkan ilmuwan dari Belanda, Indonesia, Jerman, Jepang, dan Australia.
- Dipublikasikan dalam jurnal _Quaternary Environments and Humans_ (DOI: 10.1016/j.qeh.2024.100042)
- Merupakan temuan fosil pertama dari wilayah yang kini menjadi dasar laut Sundaland.
- Ke depan, perlu ada regulasi ketat dan protokol ilmiah dalam setiap proyek reklamasi yang melibatkan penggalian sedimen laut, agar tidak ada lagi sejarah yang terbuang percuma bersama pasir dan kerikil.
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 2/6/2025