Bandul Geopolitik: Devisiasi Senyap Keamanan Arab

2 hours ago 1

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Sabpri Piliang, Pengamat Timur Tengah

Konflik Palestina-Israel membentuk persepsi regional. Bahkan 'postulat' inklusif. Persepsi Israel "berselimut" AS bisa membom siapa saja, mau kawan atau pun temannya AS, semua boleh diserang.

Israel semasa Trump, menjelma seperti Django yang memburu Sartana, atau Burt Keller. Layaknya film western 70-an: "Django & Sartana". Israel menghabisi siapa pun.

Sikap "Django" (baca: Israel) yang suka-suka sesuai persepsinya. Telah meresahkan sekutu Arab sang "selimut" (baca: AS). Tatanan sekutu tidak dapat atau "haram" diserang tidak berlaku bagi Israel dan "ambyar".

Membiarkan Israel tanpa hukuman, jelas Donald Trump telah melanggar prinsip-prinsip perjanjian dalam kesepakatan Abraham (2020) yang diprakarsainya. Trump (The Guardian, 15 September 2025), tak muncul sebagai seorang yang dapat dibujuk, disanjung, dan dirayu negara-negara Arab jika itu menyangkut kerugian Israel!

Bom Qatar pada 9 September 2025 jelas menampar wajah AS. Di samping pelanggaran terhadap kedaulatan negara, Qatar adalah sekutu "erat" AS, di mana terdapat aset Pangkalan Militer Al Udeid yang menjadi terbesar di Timur Tengah.

Apa yang dilakukan Israel pada Qatar, menjadi "postulat". Negara  Arab (Liga Arab), atau GCC (Teluk), hanya dapat "berselimut" pada AS, bila tak "beririsan" kepentingan Israel. Praktik tanpa melihat tatanan (pranata) atau konvensi yang telah dibuat AS bersama negara Arab menjadi kertas kosong yang hanya boleh diisi Israel dengan tema pilihannya, bukan tema "brainstorming".

Sebagai "polisi dunia", AS tidak memiliki perhatian untuk mencegah konflik. Presiden Trump, tidak ingin "menggambar" ulang peta dan politik Timur Tengah seperti yang pernah dilakukan Presiden AS Jimmy Carter dan Bill Clinton.

Jimmy Carter dengan Camp David-nya (1979), memberi perdamaian fundamental Israel-Mesir. Tiga tahun setelah kesepakatan, Israel mengembalikan 60 km2 Gurun Sinai, yang direbut Israel di perang enam hari (1967).

Sementara Bill Clinton memberi ruang 'pra-kemerdekaan' pada Palestina lewat perjanjian Oslo I dan II (1993), saling pengakuan PLO dan Israel di Washington. Sesungguhnya, Presiden AS Donald Trump, punya peluang mencari terobosan 'ala' Carter dan Clinton. Hanya AS yang mampu mengendalikan Israel, siapa pun Presiden, dari Demokrat atau Republik, Israel akan patuh. Carter dan Clinton, berasal dari Demokrat.

Hanya saja, nampaknya Trump yang memiliki domain sebagai penentu arah PM Israel Benyamin Netanyahu, sekaligus pemutar 'remote' perang, atau setop, seperti memiliki beban psikologis akut. Terlebih kondisi Gaza, secara inklusif abnormal dan keji, terlepas dari Hamas yang memulai telah menjadikan Israel instrumen "hukum", tanpa kontrol dan koreksi.

Koreksi sudah ada, tetapi tanpa restu AS, Inggris-Prancis-Uni Eropa, tak berani bertindak karena Israel adalah "penentu harga" nyawa anak-anak dan wanita di Gaza. Sementara AS, "menutup mata"!

Read Entire Article
Politics | | | |