
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- “Bahlul,” kata kamus, artinya orang gila. Ente bahlul, maksudnya ente miring. Tapi Bahlul yang satu ini bukan sembarang gila. Ini gila bertuah. Gila bergaya.
Bahkan, gila yang menyukai Tuhan. Atau setidaknya, gila yang disebut Ibnu Khaldun —yang kitab Muqaddimah-nya setebal bantal saya terjemahkan awal tahun 1980-an.
Selasa malam, 10 Juni 2025, saya ikut diskusi daring tentang kitab baru tapi lama — Syifā’ al-Sā’il ilā Tahdzīb al-Masā’il karya Ibnu Khaldun, yang diterbitkan Turos dengan judul Muqaddimah Ilmu Tasawuf.
Baca juga: Catatan Cak AT: AI di Gerbang Makkah
Hadir sebagai narasumber Prof. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D., pakar tasawuf jebolan Gontor dan Deakin University, dengan suara bulat dan mantap.
Ibnu Khaldun, seperti biasa, tidak sedang berbasa-basi. Di tengah reputasinya sebagai sejarawan, sosiolog, dan ahli fikih, ia menyempatkan diri menyebut beberapa tokoh tasawuf falsafi sebagai “bahlul.” Ya, kata itu bukan monopoli Rocky Gerung, atau bahan kelakar netizen soal Menteri Bahlil Lahadalia. Ini bahlul level langit.
Menurut Ibnu Khaldun —sebagaimana tersirat dalam Syifā’ al-Sā’il —tasawuf adalah ranah serius. Ia bukan tempat bertapa di gua gelap, atau ngelantur dalam rumah sambil merangkai pemikiran tanpa dasar dan rujukan jelas. Jika ada yang demikian, beliau tak segan menyebutnya: “bahlul.”
Baca juga: Wamendagri Ingatkan Pemkot Depok Pentingnya Konsep Usaha Koperasi Desa Kelurahan Merah Putih
Tapi jangan buru-buru mencemooh. Dalam khazanah Arab-Islam, “bahlul” kadang bukan makian, melainkan gelar bagi orang yang tampak gila tapi sejatinya bijak. Semacam jester suci, atau sufi berkedok linglung yang mengalami syathahat —semacam linglung ala AI— hingga bikin orang ikutan linglung.
Itulah model sufi bahlul yang dikenal sejarah. Namun, beda dengan para bahlul Instagram yang hobi berbicara di bawah pohon sambil mengutip Jalaluddin Rumi lalu memotong kewajiban shalat, Ibnu Khaldun mengajukan satu tesis tegas: tasawuf harus syariat-full, bukan syariat-less.
Penerbit Turos berhasil membuat sesuatu yang janggal jadi masuk akal. Mereka merilis versi “lite” dari Muqaddimah —bukan dalam arti isi yang ringan, tapi fokus pada tema. Bukan Muqaddimah tentang siklus peradaban, pajak, keruntuhan dinasti, dan pentingnya solidaritas kesukuan (‘ashabiyyah), melainkan versi spiritualnya.
Baca juga: Catatan Cak AT: Elegi Berhaji Melintasi Gurun Saudi
Jika Muqaddimah “asli” adalah sajian kuliah delapan semester, buku yang satu ini hanya membahas setengah semester kuliah tasawuf. Tapi bukan tasawuf sembarangan. Dalam kitab ini, Ibnu Khaldun menulis seperti hakim: tajam, hati-hati, dan tidak ragu “mengirim bid‘ah ke penjara.”
Sebagai ahli fikih Maliki yang pernah menjabat di pengadilan Mesir, ia menulis tasawuf dalam bentuk fatwa, bukan buku “how to become a sufi in 7 steps.” Kita tidak akan menemukan kumpulan shalawat, panduan wirid atau tips bertapa di gua, tapi peringatan agar tidak tersesat oleh zikir yang tak sesuai fikih.
Di sinilah istilah “bahlul” muncul dengan makna penuh. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Arabi, Al-Hallaj, dan Suhrawardi disebut dengan nada miring. Bukan karena kurang zikir, tetapi karena terlalu berfilsafat hingga melampaui batas kejujuran spiritual dan intelektual.
Baca juga: Menkomdigi Ajak Media Nasional Jaga Ruang Digital Sehat dan Aman
Bagi Ibnu Khaldun, tasawuf falsafi itu seperti memasukkan unicorn ke masjid —menarik, surealis, tapi bisa mengacaukan rukun iman. Padahal, tasawuf itu serius. Bukan panggung Instagram. Bukan pula tempat mempertontonkan eksistensialisme dengan quotes palsu.
Mari bicara fakta. Ibnu Khaldun tidak membenci tasawuf. Ia hanya membedakan dengan tegas antara: tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni —seperti dirintis Al-Ghazali, Al-Junaid, dan Abdul Qadir al-Jilani— penuh adab. Syariat dulu, baru spiritualitas.
Sementara tasawuf falsafi —yang digawangi Ibnu Arabi, Al-Hallaj, dan Suhrawardi— penuh istilah yang bikin pusing kepala. Anda mungkin terkagum-kagum oleh istilah ittihad, hulul, nur muhammad, dan wahdatul wujud, padahal bisa menjerumuskan orang pada “gila beneran.”
Baca juga: Pemkot Depok Hadirkan 10 Sekolah Inklusif Tersebar di Sejumlah Kecamatan
Bagi Ibnu Khaldun, tasawuf punya struktur logis, tapi bukan sesuatu yang dilogis-logiskan. Ada tahap takwa, tazkiyah, lalu kontemplasi pendekatan diri (muraqabah). Semua harus diverifikasi oleh akal sehat dan syariat. Kalau tidak, ya jatuhnya: bahlul.
Ibnu Khaldun menolak tasawuf yang melawan hukum. Seperti sufi yang mengklaim tak wajib shalat karena merasa “menyatu dengan Tuhan” —itu bukan spiritual, tapi delusional.
Dalam diskusi itu, Prof. Abdul Kadir menyebut tasawuf falsafi ibarat ingin menembus langit dengan tangga rapuh filsafat Yunani. Kalau Al-Hallaj berkata, “Ana al-Haqq,” maka Ibnu Khaldun menjawab, “Itu syirik!” Karena kebenaran hakiki adalah milik Allah, bukan milik orang yang sedang halu spiritual.
Baca juga: Catatan Cak AT: Selamat Tinggal, Wahai Mina
Tasawuf versi Ibnu Khaldun mengajarkan akal untuk berteman dengan wahyu —bukan menjadi bos yang memecat syariat. Apalagi menggaji intuisi sebagai direktur spiritual.
Ibnu Khaldun bukan ulama anti-mistik, tapi mistik yang syariat-sentris. Katanya: “Sufi sejati adalah zuhud tapi produktif.” Kalau cuma zuhud lalu jadi beban masyarakat, itu bukan sufi —itu pemalas yang menjadikan tasawuf tempat pelarian.
Kitab Syifā’ al-Sā’il alias Muqaddimah Ilmu Tasawuf ini kecil ukurannya, tapi padat substansi. Ia menjelaskan, sufisme yang benar bukan meninggalkan dunia, tapi menata jiwa di tengah dunia fana. Seperti orang berwudhu di pasar: tetap bersih meski penuh debu.
Ini bukan buku untuk pemuja kesunyian tanpa tanggung jawab, melainkan panduan spiritual bagi mereka yang masih ingat jalan pulang —ke rumah syariat.
Baca juga: Depok Umumkan Program CSR Perbaiki 500 Rumah Tak Layak Huni
Barangkali kini kita lebih paham. Ibnu Khaldun melabeli tokoh sekelas Ibnu Arabi sebagai “bahlul” bukan untuk mencaci, tapi sebagai peringatan. Agar kita tidak terjerumus dalam romantisme spiritual yang tidak realistis.
Ibnu Khaldun adalah pencerah. Ia mempersatukan fikih, sejarah, dan tasawuf sunni dalam satu napas. Muqaddimah versi lite-nya hanya fokus pada napas zikir —dengan oksigen syariat. Bukan tasawuf pelarian, melainkan tasawuf pelurusan.
Maka wahai para bahlul modern yang gemar memotong ayat, mengedit hadits, dan menyebar kutipan tanpa sanad —kembalilah ke jalan yang lurus. Kalau tidak, bersiaplah disebut “bahlul” dalam arti yang sesungguhnya: gila tanpa hikmah.
Dan akhirnya, sebagaimana doa para salik sejati: “Ya Allah, jadikan kami ‘bahlul’ yang Engkau cintai, bukan bahlul yang mencintai dirinya sendiri.” Amin.
Wallahu a‘lam bis shawab.
Catatan:
Tulisan ini merujuk pada kitab _Syifā’ al-Sā’il ilā Tahdzīb al-Masā’il_ karya Ibnu Khaldun, terbitan Turos Pustaka 2025: Muqaddimah Ilmu Tasawuf, serta diskusi daring pada 10 Juni 2025 bersama Prof. Abdul Kadir Riyadi.
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Penerjemah kitab Muqaddimah Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 13/6/2025