Catatan Cak AT: Saatnya Dam Haji di Negeri Sendiri

1 day ago 9
 Dok RUZKA INDONESIA) Foto ilustrasi Catatan Cak AT: Saatnya Dam Haji di Negeri Sendiri. (Foto: Dok RUZKA INDONESIA)

RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Mari kita mulai dengan sebuah fakta: Tahun 2024, ada 214.567 kambing “hijrah” ke Tanah Haram untuk disembelih sebagai dam.

Kambing-kambing itu bagian dari kewajiban ibadah para jemaah haji Indonesia, mayoritasnya berhaji tamattu’, yang wajib menyembelih hewan dam sebagai bentuk kompensasi spiritual.

Namun ternyata, tidak semua kambing itu pasti mati —setidaknya bukan secara syar’i. Dalam laporan resmi Mudzakarah Perhajian di Bandung, November 2024, terungkap bahwa tak sedikit hewan dam dibeli dengan harga tak wajar, nasibnya tak jelas, dan bahkan ada dugaan: dagingnya masuk pasar.

Dam-nya entah ke mana, pahala entah ke mana, dan kambingnya mungkin sekarang sudah jadi sate premium di restoran Madinah.

Baca juga: Catatan Cak AT: Mempercepat AI Lokal dengan 'Speculative Decoding'

Sebuah video yang beredar di media sosial menguatkan laporan ini. Atas nama ibadah, ini bukan pengorbanan suci, tapi bisa jadi praktik bisnis haram di zona haram.

Masuklah Kementerian Agama dengan terobosan segar yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 437/2025 tentang Pedoman Tata Kelola Dam/Hadyu. Dalam KMA ini, Baznas ditunjuk sebagai pihak pengelola. Dalam brosur edaran, disebutkan bahwa semua petugas haji wajib membayar dam melalui Baznas.

Sementara jemaah haji lainnya hanya dianjurkan, tidak diwajibkan. “Bayangkan,” kata Menteri Agama Nasaruddin Umar, dengan semangat tak kalah dari motivator sosial ekonomi, “kalau 220.000 kambing dipotong di Indonesia. Peternak bahagia. Masyarakat miskin kenyang. Ekonomi lokal bangkit. Kita pun dapat pahala.”

Baca juga: SPMB 2025, Anggota DPRD Depok Qonita Lutfiyah Ingatkan Pemerintah Perhatikan Anak Yatim Piatu dan Fakir Miskin

Namun, keputusan ini tetap membuat sebagian kita mengernyitkan dahi: Dam-nya disembelih dan dagingnya dibagikan di Indonesia saja? Namun pihak MUI, menurut Menag, tidak menolak gagasan ini secara mutlak, hanya meminta penjelasan kuat mengenai dasar hukumnya. Ini berbeda dari judul berita yang menyebut MUI menolak secara telak.

Dalam keterangannya di Jakarta Pusat, Selasa malam (27/5/2025), Menag menegaskan bahwa pihaknya kini sedang menyusun ‘illat (dasar hukum syar’i) agar penyembelihan dam dapat dilakukan di Tanah Air. “Ini sedang kami susun. Insyaallah dalam waktu dekat bisa kami rampungkan,” katanya.

Waktu terus berjalan. Puncak haji tinggal menghitung hari. Tapi gagasan besar ini sudah mulai menemukan pijakan syar’i-nya. Ini akan menjadi perubahan besar dalam tata kelola dam dan hadyu: penyembelihan dan pembagian hewan dam di Tanah Air bukan lagi sekadar wacana kosong tanpa dasar.

Baca juga: Ketua PWI Depok Rusdy Nurdiansyah Siap Bertarung di Kongres Pemilihan Ketua PWI Pusat, Tekad Sejahterakan Anggota

Sebab, tentu saja ini bukan hanya soal logistik atau ekonomi. Ini soal fikih. Dan para ulama menanggapinya dengan serius sejak awal. Dalam Mudzakarah di Bandung, mereka membedah ‘illat dengan teliti dan serius, seperti tukang cukur mengupas rambut jemaah haji setelah tahallul. Dengan penuh kehati-hatian. Soal ibadah tak boleh gegabah.

> Anda dapat mengunduh hasil Mudzakarah Perhajian 2024 di sini: https://s.id/MudzakarahHaji2024

Selama ini, pembayaran dam terbagi: 72,6% lewat KBIH, 23,4% lewat mukimin (WNI di Arab Saudi), 3,1% mandiri, dan sisanya lewat Daker dan bank. Seolah-olah dam ini bebas dipilih seperti paket data. Tapi yang tidak bebas adalah kambingnya. Tak semua disembelih secara sahih, apalagi sampai ke mulut mereka yang berhak menerimanya.

Baca juga: Dokter Spesialis Bedah Umum Eka Hospital Depok Paparkan Gejala, Penyebab dan Pengobatan Radang Usus Buntu

Dengan skema baru yang digodok Kemenag, bukan hanya kambing yang diselamatkan dari “penyiksaan logistik” di Arab. Kita sedang membuka jalan ibadah yang menyentuh sisi keadilan ekonomi. Peternak lokal bisa hidup. Masyarakat bawah bisa makan. Dan ibadah haji pun jadi lebih nyata manfaat dan pahalanya.

Data lain menunjukkan, Indonesia saat ini berada di peringkat ke-57 negara termiskin di dunia, kalah dari Myanmar dan Timor Leste. Angka stunting masih 21,5% pada 2023. Di tengah kenyataan ini, apakah kita akan terus menyembelih kambing di luar negeri, sementara anak-anak kita di desa-desa tetap tumbuh dengan gizi minim?

Ulama kita, alhamdulillah, tidak hanya berdoa tapi juga membaca statistik, lalu menyandingkannya dengan nash. Mereka pun memutuskan: “Penyembelihan dan pembagian daging hadyu/dam di luar Tanah Haram, termasuk di Tanah Air, hukumnya boleh dan sah.” Titik. Tentu dengan pedoman syar’i yang kuat, bukan fatwa rasa cendol.

Baca juga: Catatan Cak AT: Ide Frustasi Amerika: Bom Nuklir Saja Gaza

Mereka berpedoman pada ayat 196 surah Al-Baqarah, ayat 27–28 surah Al-Hajj, juga ayat 36–37 dalam surah yang sama. Landasan lainnya, hadits riwayat Muslim yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw menyembelih 63 ekor unta dan memerintahkan Ali menyembelih sisanya. Artinya, tidak harus dilakukan sekaligus.

Selain itu, dikutip pula hadits bahwa Rasulullah SAW pada tahun 9 Hijriah mengamanatkan kepada Abu Bakar ra sebagai Amirul Hajj untuk membawa 16 atau 18 ekor unta sebagai hewan hadyu ke Baitullah. Padahal beliau sendiri tidak ikut berhaji. Luar biasa, 16 ekor unta bukanlah jumlah yang sedikit.

Surah Al-Baqarah ayat 196 memang menyebutkan kewajiban dam bagi jemaah haji tamattu’, tapi tidak mengunci lokasinya pada satu titik GPS. Dalam tafsir klasik, penyembelihan memang lebih utama dilakukan di Tanah Haram, namun bukan berarti terlarang jika ada maslahat yang lebih besar —seperti mengenyangkan fakir miskin di negeri sendiri.

Toh, bukankah Nabi pernah bersabda: “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”? Selain alasan tekstual, para ulama juga merujuk pendapat dari keempat mazhab yang dianut umat, serta fatwa-fatwa resmi dari Saudi Arabia dan Mesir yang membolehkan penyembelihan hewan dam di luar Makkah.

Baca juga: Terobosan! Kali Pertama Non Muslim Jabat Camat di Depok

Keputusan dam disembelih dan dibagikan di Tanah Air memang masih baru. Tapi bukan berarti tabu. Jika dengan izin syariah dan kaidah fikih kita bisa menyembelih di sini dan memberi manfaat lebih luas —dari peternak lokal hingga anak-anak yang tumbuh sehat— maka kita sedang beribadah dengan cara yang lebih membumi.

Ini bukan soal meremehkan Tanah Suci Makkah. Tapi soal menghidupkan keberkahan ibadah dalam lanskap sosial-ekonomi yang lebih luas. Lagipula, siapa bilang pahala hanya tumbuh di pasir Arab? Ia bisa tumbuh dari darah yang halal, kambing yang lokal, dan perut fakir miskin yang kenyang di pelosok Indonesia.

Maka mari kita doakan: semoga dam kita sah, kambing kita halal, dan anak-anak kita tak lagi kurus kering karena kekurangan gizi. Dan jika suatu hari Anda mendengar kabar tentang kambing dam disembelih di desa sebelah, jangan langsung heran. Itu bukan hewan kurban biasa, tapi langkah baru menuju ibadah haji yang lebih bermanfaat. (***)

Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 30/5/2025

Read Entire Article
Politics | | | |