
RUZKA-REPUBLIKA NETWORK -- Di antara kisah-kisah spiritual yang penuh keharuan tentang ibadah haji, terselip satu kabar yang membuat kambing-kambing Indonesia seakan bersenandung riang: "Alhamdulillah, tahun ini bisa mati di negeri sendiri, disantap anak bangsa!"
Ya, ini bukan novel surealis. Ini bisa menjadi realita. Kementerian Agama (Kemenag) sudah berteguh hati memutuskan, namun sedang mengupayakan sebuah langkah terobosan: pemotongan hewan dam jemaah haji Indonesia dilakukan di Tanah Air, bukan di Tanah Haram.
Sebelum Anda mengernyitkan dahi membayangkan kambing-kambing naik pesawat kelas ekonomi dari Jeddah ke Juanda, mari kita perjelas. Bukan hewannya yang dibawa pulang, tapi esensinya: penyembelihan dan pendistribusian daging. Itu yang dimaui Kemenag.
Baca juga: Krisis Armada dan Brokrasi Hambat Perdagangan Sapi Bima, Peternak Serukan Perbaikan Nasional
Dan jangan salah, ini bukan sekadar ide iseng saat macet di Senayan. Ini hasil perenungan panjang, bahtsul masail, dan rapat lintas benua. Sudah lama sekali ide-ide serupa muncul. Kali ini, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang berat, dan momentum, cukup mendukung.
Kemenag sudah menyusun argumen: dari aspek hukum agama, efisiensi, kebermanfaatan, hingga kemanusiaan. Mereka bilang, menyembelih dam di Indonesia jauh lebih efektif daripada harus menembus rimba birokrasi Arab Saudi yang "sangat luar biasa".
Bayangkan, jika daging dam di Saudi harus dibawa ke Indonesia, bakal terjadi proses yang panjang, daging dikalengkan, ongkos logistik tinggi, lalu entah dikemanakan. Padahal, kita punya jutaan rakyat yang butuh protein dan puluhan ribu jagal yang menganggur menjelang Idul Adha.
Baca juga: Tempat 'Jin Buang Anak', di Depok Cicilan Rumah Cuma Rp 15 Ribu per Bulan, Dihuni Banyak Wartawan
Para ulama pun diajak diskusi. Bahtsul masail digelar. Ulama yang pro— tentu setelah menimbang dalil dan maslahat— mengiyakan. Tapi tak lama, dari satu tenda bahtsul masail lainnya, muncul suara yang berseberangan berbasis argumen lama. Tak setuju dengan upaya tadi.
Laksana menolak digiring, sebagian ulama —khususnya dari lingkungan ulama tradisional— merasa kurang sreg. Alasannya tentu bukan soal politik peternakan, tapi lebih kepada kehati-hatian dalam menjaga ajaran dan kesakralan manasik, sesuai pendapat ulama salaf.
Menteri Agama Nasaruddin Umar tak patah semangat. Dia bahkan sudah sowan ke Menteri Haji Arab Saudi, Tawfiq Al Rabiah, membawa proposal penuh semangat: “Bagaimana kalau dam-nya kami potong di Indonesia saja, lalu didistribusikan di sana agar lebih bermanfaat?”
Baca juga: Catatan Cak AT: Energi Surya Setara 20 Reaktor Nuklir
Responnya mengejutkan: Saudi malah sungguh mendukung, apalagi upaya ini juga menguntungkan pihak mereka dalam aspek efisiensi. Mungkin ini pertama kalinya dalam sejarah diplomasi Timur Tengah–Asia Tenggara, kambing menjadi alat negosiasi bilateral.
Arab Saudi memang merasa terbantu. “Lho, Indonesia itu satu per lima dari seluruh jemaah. Kalau mereka urus sendiri dam-nya, kami bisa napas sedikit.” Tentu ini kabar baik. Bahkan mungkin kambing-kambing di Mina ikut mengangguk senang —jika mereka bisa membaca berita.
Namun, seperti biasa, saat semua mulai terlihat menjanjikan, datanglah musuh abadi: waktu yang mepet. Jamaah mulai berangkat awal bulan depan. Peraturan masih dirumuskan. Fatwa belum final. Ulama belum sepenuhnya setuju. Tapi Saudi sudah nanya, “Jadi enggak, nih?”
Baca juga: Usung Nilai Budaya, Evenciio Apartement Depok Perkenalkan Tarian Reok Ponorogo ke Mahasiswa Asing
Di tengah ini semua, masyarakat menanti: apakah tahun ini kita bisa menyantap sate dam haji? Apakah dagingnya akan didistribusikan ke pesantren-pesantren yang langganan lauk tahu-tempe? Apakah ini awal dari haji yang lebih inklusif —bukan hanya spiritual, tapi juga sosial?
Jika berhasil, ini akan jadi revolusi manasik: penyembelihan dam yang mesti sah menurut syariah, tapi juga berpihak pada realitas sosial-ekonomi umat. Daging yang tadinya mungkin mengendap di gudang penyimpanan Saudi, kini bisa mendarat di dapur rumah tangga dhuafa, pondok pesantren, bahkan panti asuhan.
Maka, mari kita sambut gagasan ini bukan dengan cemooh, tapi dengan pengawasan dan kehati-hatian. Mari dorong Kemenag dan MUI agar duduk satu meja, bukan saling membanting argumen di tikar bahtsul masail.
Baca juga: Catatan Cak AT: Gunakan Ponsel Sebagai Jembatan Makna
Dan jika semua lancar, mari kita rayakan: akhirnya kambing dam tak perlu lagi meninggalkan negeri untuk mati di padang pasir. Cukup lahir dan wafat di tanah air. Merdeka!
Satu harapan terakhir, semoga tahun depan kita tidak hanya bicara soal dam, tapi juga distribusi kurban yang adil dan tidak hanya berputar di sekeliling kantor kelurahan dan rumah ketua RT.
Karena kalau kambing saja bisa bersilaturahmi sampai kampung halaman, masa sih, distribusi daging kurban kita masih muter-muter di kota? (***)
Penulis: Cak AT - Ahmadie Thaha/Ma'had Tadabbur al-Qur'an, 28/4/2025