Global March to Gaza: Gerbang Rafah Terkunci, Nurani Dunia Bergerak

13 hours ago 6

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Global March to Gaza yang sedang berlangsung dari Al-Arish menuju Gerbang Rafah menjadi sorotan dunia internasional sebagai bentuk estafet nurani kolektif yang menolak diam atas krisis kemanusiaan di Palestina.

Konvoi ini melibatkan ribuan orang dari berbagai negara. Mereka hadir bukan sebagai perwakilan diplomatik resmi, melainkan sebagai representasi moral dan kemanusiaan.

Ribuan orang mewakili lintas etnis dan benua berhimpun, memulai langkah bersama dari Al-Arish menuju Gerbang Rafah. Mereka bukanlah diplomat. Tak ada mandat resmi dari negara. Yang mereka genggam dan bawa yaitu keyakinan bahwa isu kemanusiaan di Palestina tak bisa terus ditunda.

Mereka datang dari Tunisia, Libya, Maroko, Amerika, Eropa, Asia, termasuk Indonesia. Mereka berlatar belakang pensiunan, perawat, jurnalis, dokter, pegiat HAM, hingga anak muda biasa yang ingin berbuat sesuatu yang lebih dari kata-kata, mereka tak tahan lagi melihat berita dari Gaza. Gelombang nuranilah yang menuntun langkah mereka.

Chairman Aliansi Kemanusiaan Indonesia (Aksi) Ali Amril menyebut aksi ini sebagai "diplomasi jalanan" yang menandai pergeseran cara dunia merespons tragedi kemanusiaan.

"Ini adalah bentuk diplomasi tanpa podium, tanpa protokol, dan tanpa basa-basi. Gerbang Rafah mungkin dikunci, tapi nurani dunia tidak bisa dibungkam," ujarnya dalam pernyataan, Sabtu (14/6/2025).

Ali yang juga dikenal sebagai aktivis gerakan filantropi dunia Islam mengatakan gerakan ini merupakan kelanjutan dari aksi kemanusiaan sebelumnya, termasuk aksi kapal Madleen yang sempat dicegat di laut.

"Madleen mungkin digagalkan, tapi dentumannya membangunkan dunia. Kini, langkah-langkah kaki di Sinai mengambil tongkat estafet itu," ujarnya.

Menurut Ali, partisipasi masyarakat dunia dalam Global March to Gaza mencerminkan diplomasi baru yang lahir dari penderitaan rakyat Palestina.

"Para peserta bukan diplomat, mereka pensiunan, perawat, jurnalis, dokter, aktivis HAM, hingga anak muda biasa dari berbagai benua yang datang karena tak tahan melihat Gaza terus dibombardir," katanya.

Ia juga menyoroti keterlibatan beberapa warga negara Indonesia dalam barisan konvoi, termasuk sejumlah tokoh publik, seperti Zaskia Adya Mecca, Ratna Galih, Wanda Hamidah, Hamidah Rachmayanti, dan Indadari Mindrayanti.

"Kehadiran mereka adalah pesan simbolik dari rakyat Indonesia bahwa keberpihakan terhadap Palestina bukan hanya wacana, tetapi tindakan nyata," ujarnya.

Jejak langkah mereka adalah pesan simbolik dari rakyat Indonesia, bahwa bangsa ini, sejak lama berdiri bersama Palestina. Tidak hanya dengan pernyataan, tapi juga dengan kehadiran fisik dan keberanian bersuara.

Ali menegaskan kunci yang menutup Gerbang Rafah justru menjadi pemantik suara nurani dunia. Ia mengkritik keras tindakan penahanan dan deportasi terhadap peserta konvoi oleh otoritas Mesir.

"Jika mereka yang membawa air dan obat saja diusir, lalu apalagi yang tersisa dari nilai kemanusiaan kita?" ujarnya.

Global March to Gaza, menurut Ali, merupakan tonggak penting dalam sejarah diplomasi kemanusiaan dunia. "Setelah suara dari laut, kini daratan bersuara. Ini adalah estafet diplomasi nurani global yang tidak akan berhenti," ucapnya.

Ali mengajak masyarakat dunia untuk turut serta, baik secara fisik, doa, tulisan, maupun dukungan moral. "Gaza adalah luka dunia. Dan setiap langkah menuju Rafah adalah langkah menuju pemulihan nurani bersama. Dunia sedang bergerak, meski pelan, namun pasti," ujarnya.

Read Entire Article
Politics | | | |