Chris Martin Coldplay di Konsernya: Saya Senang Lihat Bendera Palestina

4 hours ago 5

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konser musik akbar sering kali bukan hanya sekadar ajang hiburan, melainkan juga sebuah panggung di mana berbagai pesan dan identitas bertemu. Hal ini terbukti dalam konser pembuka tur dunia "Music of the Spheres" Coldplay di Amerika Serikat, yang berlangsung di Stadion Stanford pada Sabtu (31/5/2025).

Di tengah kerumunan yang membanjiri stadion dengan berbagai bendera dan spanduk tulisan tangan, vokalis Coldplay, Chris Martin, dengan jeli menangkap pandangan pada sebuah bendera Palestina. Responsnya kemudian menjadi sorotan, menunjukkan pesan kemanusiaan yang kuat.

Ketika Chris Martin melihat bendera tersebut, ia tidak hanya mengakui dan menyambut baik kehadiran pemegang bendera itu. Lebih dari itu, ia segera melontarkan sebuah peringatan penting kepada siapa pun di konser tersebut, agar tidak memutarbalikkan niat tulusnya.

"Saya sangat senang melihat bendera Palestina. Tetapi untuk lebih jelasnya: Kami mencintai semua orang dari mana saja, jadi jangan sebarkan itu di internet dengan omong kosong, oke?," kata dia dikutip dari laman San Francisco Chronicle, baru-baru ini.

Sikap Chris Martin ini kerap memancing reaksi beragam. Bagi sebagian orang, optimisme dan kesungguhan Coldplay terasa menenangkan dan inspiratif. Lagu-lagu mereka memiliki kemampuan unik untuk menempel dan bersarang di hati pendengar, menciptakan resonansi emosional yang mendalam. Energi Martin yang ceria dan obrolannya yang penuh semangat di atas panggung menjadi daya tarik tersendiri bagi banyak penggemar.

Namun, tidak sedikit pula pihak sinis yang kerap menganggap Coldplay karena "terlalu positif" atau "terlalu polos". Mereka mungkin "membenci" bagaimana band ini selalu berusaha menyebarkan kebaikan dan kebahagiaan. Meski demikian, para "pembenci" itu terbukti kalah jumlah.

Pada malam konser di Stanford tersebut, Coldplay memenuhi malam pertama dari dua malam yang tiketnya terjual habis. Ini juga menjadi momen bersejarah, karena untuk pertama kalinya, lapangan sepak bola Divisi I NCAA itu dibuka untuk konser berskala penuh, menandai sebuah era baru bagi Stadion Stanford sebagai venue musik.

Selama lebih dari dua jam, Coldplay bukan hanya sekadar tampil, mereka memberikan pertunjukan energi tinggi. Konser ini memadukan lagu-lagu anthem andalan mereka dengan lagu-lagu baru, meskipun ada beberapa momen yang mungkin tidak sepenuhnya "mengenai sasaran" bagi sebagian orang.

Grup musik asal Inggris yang terdiri atas Chris Martin (vokalis), Jonny Buckland (gitaris), Guy Berryman (bassis), dan Will Champion (drummer) ini memulai penampilannya sekitar pukul 19.45 waktu setempat. Mereka segera memanfaatkan gelang LED yang dapat digunakan kembali, yang dibagikan kepada penggemar di pintu masuk.

Gelang-gelang ini menerangi seluruh stadion, menciptakan lautan cahaya yang memukau. Kehadiran Elyanna, seorang seniman berdarah Palestina, semakin memperkuat nuansa inklusivitas dan keberagaman di konser tersebut.

Salah satu kekuatan terbesar Coldplay adalah kemampuan mereka untuk memanfaatkan dan mengendarai momentum. Tur "Music of the Spheres" ini, yang mendukung album studio kesembilannya dengan nama yang sama, mengusung konsep Coldplay sebagai penjelajah luar angkasa yang memulai perjalanan melintasi galaksi (membawa serta para penggemar mereka) sebelum akhirnya kembali ke "rumah".

Tur ini telah diuji secara menyeluruh selama tiga tahun terakhir. Pada konser di Stanford ini, mereka datang dengan "tangki penuh" lagu-lagu hits yang dibawakan. Momen-momen puncak dalam konser menunjukkan mengapa Coldplay telah mengukuhkan posisinya sebagai salah satu band live terbaik di dunia. Lagu “Viva La Vida” yang dibawakan di panggung kedua di garis 50 yard lapangan, mempertahankan posisinya sebagai salah satu lagu terbaik yang paling membangkitkan semangat di stadion, tak peduli genrenya.

Sebaliknya, “Fix You” dibawakan dengan penuh kesedihan namun sangat menyentuh. Sementara itu, “Yellow” dan “A Sky Full of Stars” yang dipadukan dengan gelang LED yang menyala, menciptakan "dunia utopis" tersendiri di dalam stadion. Harmoni antara band dan desain panggung terjalin apik, dengan Chris Martin memimpin sing-along yang mampu menyaingi nyanyian suporter sepak bola Eropa yang dahsyat.

Konser ini ditutup dengan pertunjukan kembang api yang memukau. Fondasi stadion berhasil menahan beban 84 ribu kaki yang menghentak.

Read Entire Article
Politics | | | |