Cinta yang Tenggelam di Baiturrahman

3 hours ago 3

Image Munawar Khalil N

Sastra | 2025-09-19 09:55:37

Perlahan, memori itu kembali merayap ke permukaan. Dari balik jendela mobil yang melaju, matanya menangkap pucuk-pucuk kubah hitam Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Kubah itu seolah bergerak menghampiri, padahal sesungguhnya mobilnyalah yang mendekat. Jantungnya berdegup, seakan waktu melipat, membawa dirinya kembali dua puluh tahun silam.

Foto: sora.chatgpt.com

Usianya saat itu baru sepuluh tahun. Tubuh kecilnya terombang-ambing di antara reranting pohon dan perabotan yang hanyut diterjang tsunami. Ia berpegangan pada lemari yang terbawa arus, berusaha bertahan di tengah teriakan yang kian lama kian hilang. Hujan bercampur air mata menutup pandangan. Pucuk-pucuk kubah masjid itu terlihat semakin jauh, lalu hilang di balik gulungan air.

Sejak hari itu, dunianya tak lagi sama. Tsunami merenggut orang tua dan adiknya yang masih balita. Ia sebatang kara, hingga seorang relawan membawanya keluar dari tanah kelahirannya. Kehidupan baru diberikan: rumah, kasih sayang, dan identitas yang berbeda. Ia tumbuh dalam keluarga angkat, menyimpan masa lalu sebagai luka yang tak pernah sembuh.

Kini, setelah dua dekade, ia kembali. Bukan karena rindu, melainkan tugas sebagai abdi negara. Langkahnya menapak pelataran masjid, menunaikan salat dengan hati berkecamuk. Tak ada lagi yang menunggunya di kota ini, pikirnya. Ia hanyalah seorang yang kembali ke tanah kelahiran tanpa akar.

Waktu berjalan. Perlahan ia menemukan ritme hidup baru di kantor wilayah tempatnya ditugaskan. Di sanalah ia bertemu Rani, rekan kerja yang pada awalnya biasa saja. Namun seiring hari, interaksi menumbuhkan rasa. Rani mandiri, tegas, namun tetap lembut. Gadis Aceh yang ideal, batinnya berkata.

Hubungan mereka berlanjut hingga ia melamar Rani. Orang tua Rani menyambut dengan bahagia, demikian pula keluarga angkatnya. Tiga bulan kemudian akad digelar. Pernikahan mereka berjalan indah, penuh tawa dan harapan. Kebahagiaan itu kian lengkap saat Rani hamil, lalu melahirkan. Namun seketika balon kebahagiaan itu kempis. Bayi mereka lahir tanpa tangan.

Duka membalut keluarga. Ayah Rani yang tak puas mencari sebab, mendengar bisikan tentang pernikahan sedarah sebagai salah satu penyebab cacat lahir. Kecurigaan pun bersemi. Rahasia lama akhirnya terbongkar.

Ia tahu dirinya anak angkat, namun bagi Rani, kebenaran itu bagai petir di siang bolong. Rani tak pernah tahu bahwa dirinya adalah anak angkat Orang tua Rani mengaku, putri mereka ditemukan setelah tsunami—seorang bayi dalam balutan selimut basah, terselamatkan oleh reruntuhan kayu yang membentuk ruang kecil.

Tubuhnya bergetar mendengar itu. Bagaimana jika Rani, perempuan yang ia cintai, sejatinya adalah adik kandung yang hilang? Ketakutan yang lebih dahsyat dari ingatan tentang gelombang itu kini merayap.

Tes DNA menjadi jalan terakhir. Di ruang dokter yang dingin, mereka duduk menanti dengan wajah tegang. Suasana begitu pekat, seakan udara pun enggan bergerak. Ketika dokter masuk, semua mata menatap penuh cemas. Sepotong kalimat yang keluar membuat dunia runtuh seketika.

“Kalian bersaudara.”

Seperti palu godam, kabar itu menghantam. Ruangan mendadak panas oleh tangis yang pecah bersamaan. Ia, Rani, dan kedua orang tua terisak, tak percaya pada takdir yang begitu kejam sekaligus ironi.

Ia merangkul Rani. Dalam pelukan itu, air matanya bercampur antara kehilangan dan kelegaan. Kehilangan cinta yang tak boleh berlanjut, sekaligus kelegaan bahwa adiknya—yang dikira hilang ditelan gelombang—ternyata masih hidup.

Takdir mempertemukan mereka dengan cara yang tak pernah mereka inginkan. Dan di luar sana, pucuk-pucuk kubah masjid tetap tegak dalam diam, menyimpan seribu kisah tentang kehilangan dan pertemuan yang terlambat.

***

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |