REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK – Negara-negara anggota Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) PBB menggelar pemungutan suara terkait penghentian penggunaan bahan bakar fosil sebagai bagian dari upaya global mengatasi krisis iklim. Namun, sejumlah negara Arab Teluk dan lainnya diperkirakan bakal menarik diri dari komitmen sebelumnya.
Pemungutan suara ini merupakan bagian dari mosi yang lebih luas tentang aksi menghadapi pemanasan global, menyusul pengakuan Dewan HAM PBB pada 2021 bahwa akses terhadap lingkungan yang bersih dan sehat adalah hak asasi manusia.
Namun, mosi tersebut menuai perpecahan di antara 47 negara anggota setelah Kepulauan Marshall mengusulkan amandemen untuk secara eksplisit menyebutkan penghentian bahan bakar fosil. Negara kepulauan kecil ini hanya memiliki elevasi rata-rata dua meter dan menjadi salah satu yang paling rentan terhadap kenaikan permukaan laut.
Amandemen itu menjadi ujian politik atas komitmen negara-negara yang sebelumnya sepakat mengakhiri penggunaan bahan bakar fosil dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP28) pada Desember 2023.
Meski keputusan Dewan tidak mengikat secara hukum, hasilnya diyakini akan memengaruhi standar global ke depan. Hingga kini, belum jelas apakah mayoritas negara akan mendukung bahasa mosi tersebut dalam pemungutan suara pada Selasa (9/7/2025) waktu setempat.
“Tidak dapat dimengerti bahwa sebuah resolusi yang bertujuan melindungi hak asasi manusia dari efek perubahan iklim tidak menyebutkan perlunya transisi dari bahan bakar fosil,” ujar Duta Besar Kepulauan Marshall untuk PBB di Jenewa, Doreen Debrum.
Usulan Kepulauan Marshall didukung oleh Australia, Inggris, Jerman, serta sejumlah negara kepulauan Pasifik seperti Samoa dan Vanuatu.
Namun, tiga diplomat menyebut negara produsen minyak seperti Arab Saudi dan Kuwait menolak frasa eksplisit penghentian bahan bakar fosil selama negosiasi. Sebagai gantinya, Riyadh mendorong pendekatan “berbagai jalur” dalam pengurangan emisi.
Hingga berita ini ditulis, kantor media internasional Arab Saudi dan Kementerian Luar Negeri Kuwait belum memberikan tanggapan. Misi diplomatik mereka di Jenewa juga belum merespons permintaan komentar.
Manajer kampanye hak asasi manusia dan iklim di Center for International Environmental Law, Sébastien Duyck, menyebut pemungutan suara ini sebagai “uji lakmus bagi pemerintah.”
Langkah ini muncul di tengah kritik terhadap pemimpin negara-negara maju, termasuk Uni Eropa, yang dinilai mulai melonggarkan kebijakan iklim justru saat gelombang panas ekstrem melanda berbagai wilayah.
Sementara itu, Amerika Serikat tidak akan berpartisipasi secara formal karena sudah menarik diri dari Dewan HAM PBB tahun ini.
sumber : Reuters