Disrupsi Digitalisasi: Apakah Pekerja Indonesia Siap Bertahan atau Tergusur?

21 hours ago 5

Image Ana Puspitasari

Info Terkini | 2025-06-13 09:40:21

Tanpa waktu, kompromi, dan kesiapan semua berlalu lebih cepat tanpa terpikirkan. Adanya pergeseran fokus ini mampukah pekerja Indonesia beradaptasi atau justru terjerumus dalam jurang ketertinggalan?

Perkembangan revolusi industri 4.0 ini sejalan dengan road map yang di cetuskan oleh Presiden Joko Widodo pada tahun 2018 dengan judul “Making Indonesian 4.0” dengan tiga kata utama teknologi, otomatisasi, dan distrupsi. Adanya revolusi ini tentunya dapat mendorong kemudahan baik dari sektor penerapan teknologi hingga proses pengembangan produk sehingga revolusi ini menjadi angin segar yang di dukung oleh Future of Jobs Report 2025 dari World Economic Forum (WEF) memprediksi terjadi perkembangan teknologi yang akan menciptakan sekitar 170 juta pekerjaan baru.

Namun, ironisnya sekitar 92 juta pekerjaan diperkirakan akan hilang akibat otomatisasi dan adopsi teknologi baru. Bagi industri besar yang memiliki kemudahan terhadap aksesibilitas pemodalan tentunya akan sangat mendukung adanya penerapan digitalisasi ini sehingga dapat meningkatkan daya saing dan pengembangan produk. Di sisi lain, bagi industri yang memiliki hambatan pemodalan dan rendahnya kesiapan sumber daya manusia menjadikan digitalisasi ini sebagai ancaman mengerikan. Ketimpangan ini memunculkan peluang adanya efek domino gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Hal ini tentunya menjadi celah bahwa road map ini masih tergolong keberpihakan di satu sisi di mana masih memperioritaskan pada aspek perkembangan teknologi daripada aspek tenaga kerja (Kurniawan & Aruan, 2021).

Salah satu sektor yang merasakan dampak akibat adanya digitalisasi ini adalah sektor ritel. Perubahan pola belanja dari datang langsung ke toko menjadi belanja dalam satu genggaman mengancam peran tenaga kerja di sektor ini. Perkembangan yang semakin massif yang didukung oleh adanya keunggulan dari aspek kemudahan mengakibatkan penurunan jumlah pengujung toko fisik yang pada akhirnya berdampak pada pengurangan tenaga kerja di sektor operasional ritel tradisional. Data menunjukkan bahwa pada tahun 2021 Indonesia menjadi negara dengan jumlah pengguna media sosial sebanyak 191 juta orang dengan 88.1% diantaranya aktif menggunakan e-commerce (Putra & Mubdi, 2024). Salah satu perusahaan ritel yang merasakan dampak perubahan ini adalah Matahari Departement Store yang harus beradaptasi terhadap perubahan tren digitalisasi ini.

Matahari Department Store menghadapi tantangan besar dalam menyesuaikan diri dengan tren industri ritel modern di era digitalisasi. Penutupan sejumlah gerai dalam empat tahun terakhir telah menyebabkan pengurangan hampir 5.000 tenaga kerja, yang berdampak signifikan terhadap meningkatnya angka pengangguran. Perubahan perilaku konsumen yang semakin beralih ke belanja daring membuat toko fisik kehilangan daya saing, sehingga kebutuhan akan tenaga kerja konvensional pun berkurang. Penelitian menunjukkan bahwa ketidakmampuan perusahaan beradaptasi dengan perubahan ini berkontribusi terhadap melemahnya kinerja operasional dan keuangan Matahari.

Mengutip laporan terbaru, hingga akhir Maret 2024 LPPF mengelola 155 gerai pusat perbelanjaan Matahari. Angka tersebut berkurang dari semula 160 gerai pada Maret 2020 atau tepat 4 tahun lalu. Bahkan jika ditarik sedikit ke belakang, penurunan jumlah gerai Matahari milik LPPF lebih besar lagi, di mana jumlah gerainya mencapai 169 pada akhir 2019. Sejalan dengan pengurangan jumlah gerai, karyawan perusahaan juga ikut terpangkas signifikan atau nyaris berkurang 5.000 dalam 4 tahun terakhir. Hingga akhir kuartal I-2024 jumlah karyawan LPPF tercatat sebanyak 9.165 atau berkurang 4.893 orang dari semula mencapai 14.058 pekerja pada akhir Maret 2020 atau bertepatan dengan merebaknya wabah pandemi global covid-19. Penurunan jumlah gerai dan karyawan LPPF sendiri juga sejalan dengan maraknya digitalisasi di industri ritel dengan pangsa dari kanal online perlahan ikut bertambah. Selain itu, digitalisasi tersebut juga ikut dipercepat oleh pandemi.

Imbas pandemi, LPPF terpaksa membukukan rugi lima kuartal beruntun sejak Q1 2020 (Maret) hingga Q1 2021. Pada kuartal kedua 2021 perusahaan akhirnya kembali mampu mencatatkan laba ditopang oleh belanja selama libur idul adha. Lalu pada kuartal selanjutnya (Q3 2021) perusahaan kembali mencatatkan rugi.

Mengutip data Refinitiv, kinerja perusahaan setelah itu mulai mengalami perbaikan signifikan, di mana LPPF nyaris selalu mencatat laba tiap kuartal sejak Q4 2021, kecuali pada Q3 2023.

Kinerja Laba (Rugi) Kuartalan LPPF 5 Tahun Terakhir

Data dalam miliar rupiah

Chart: Feri Sandria, Source: Refinitif, Created with Datawrapper

LPPF memang diketahui memiliki kinerja siklikal, dimana kinerjanya kuartalan terbaik dibukukan selama musim lebaran dan libur natal tahun baru. Dalam beberapa tahun terakhir, Q1 dan Q3 menjadi kuartal dengan kinerja terlemah bagi emiten peritel pakaian tersebut. Secara tahunan kinerja penjualan perusahaan tercatat naik setiap tahun sejak anjlok 53% pada tahun pandemi 2020. Namun pendapatan tersebut masih belum pulih total, dengan pendapatan tahun 2023 senilai Rp 6,54 triliun atau masih 36% lebih rendah dari capaian tahun 2019 senilai Rp 10,28 triliun yang merupakan catatan terbaik perusahaan sejak didirikan.

Pendapatan Tahunan LPPF

dalam miliar rupiah

Chart: Feri Sandria, Source: Refinitif, Created with Datawrapper

Dalam konteks ketenagakerjaan, banyak pekerja yang terkena PHK berasal dari sektor ritel tradisional yang belum memiliki keterampilan yang sesuai dengan tuntutan industri saat ini. Kesenjangan keterampilan menjadi salah satu faktor utama yang memperburuk tingkat pengangguran, terutama di tengah pergeseran industri ke arah digital. Keterampilan seperti pengelolaan e-commerce, analisis data, dan pemasaran digital kini menjadi sangat dibutuhkan, namun banyak tenaga kerja dari sektor ritel belum siap untuk beradaptasi dengan perubahan tersebut.

Solusi untuk mengurangi kesenjangan digital di antara masyarakat harus mengusahakan pada empat tingkatan menurut Pearce & Rice (2013), yakni kepemilikan perangkat, adopsi internet, sejauh mana internet seluler digunakan, dan level perolehan informasi dengan menguji pengaruh faktor sosio-demografis di setiap tingkat dan fokus pada perbedaan penggunaan internet di antara individu. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia telah mengambil berbagai langkah untuk meningkatkan keterampilan tenaga kerja agar lebih siap menghadapi era digital. Koordinator Bidang Evaluasi dan Pelaporan pada Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan Vokasi dan Produktivitas, Kementerian Tenaga Kerja (Bina Lavotas Kemnaker) menyebutkan bahwa salah satu upayanya adalah memperkuat pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) melalui strategi "6R", yang mencakup reformasi kelembagaan, redesain substansi pelatihan, reorientasi sumber daya manusia, revitalisasi fasilitas dan sarana prasarana, rebranding dan relationship.

Kemnaker juga fokus pada pengembangan program pelatihan vokasi yang berfokus pada kebutuhan pasar kerja di era digital dengan menyediakan program pelatihan keterampilan-keterampilan baru yang banyak dibutuhkan industri saat ini seperti pembuat konten , aplikasi & teknologi seluler , pemasaran digital , desain grafis dan sistem operasi komputer. Pelatihan tersebut dapat diakses pada aplikasi yang sudah disediakan oleh Kemnaker yang nantinya peserta akan mendapatkan pengetahuan dan pelatihan dari para instruktur dan tenaga pengajar yang kompeten sesuai dengan modul pelatihan terbaru.

Pemerintah maupun sektor swasta dapat bekerja sama dalam menciptakan kebijakan dan program yang mendukung adaptasi tenaga kerja, memastikan bahwa semua pekerja memiliki akses yang adil terhadap peluang baru di era digital. Perusahaan dapat berinvestasi dalam program pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia untuk meningkatkan keterampilan digital karyawan mereka dan pemerintah mendukung hal tersebut dengan memberikan insentif bagi perusahaan dengan potongan pajak dan subsidi pelatihan guna mendorong peningkatan keterampilan tenaga kerja digital. Dengan kebijakan-kebijakan tersebut, pemerintah berupaya menciptakan tenaga kerja yang lebih adaptif terhadap perubahan industri serta mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |