Home > Shipping Sunday, 18 May 2025, 19:30 WIB
Potensi overkapasitas AS-Jepang dapat fluktuasi tarif pengapalan dan utilisasi kapal Jepang.

ShippingCargo.co.id, Jakarta – Jepang mencatat kontraksi ekonomi pertamanya dalam setahun pada kuartal I 2025, memperlihatkan tanda-tanda jelas rapuhnya pemulihan pasca-pandemi. Menurut data yang dirilis Jumat (16/5), produk domestik bruto (PDB) riil Jepang menyusut sebesar 0,7 persen secara tahunan, jauh lebih dalam dari ekspektasi pasar yang memperkirakan penurunan hanya 0,2 persen. Secara kuartalan, ekonomi juga turun 0,2 persen.
Dua faktor utama jadi biang keladi: melemahnya konsumsi domestik dan turunnya ekspor — sebuah pukulan telak bagi negara yang sangat bergantung pada perdagangan luar negeri, terutama di sektor otomotif dan manufaktur.
Namun yang membuat para analis ekstra waspada adalah faktor eksternal yang datang dari seberang Pasifik: kebijakan tarif “timbal balik” yang diumumkan Presiden AS Donald Trump sejak awal April. Langkah tersebut telah menciptakan ketidakpastian baru dalam arsitektur perdagangan global, dan Jepang menjadi salah satu negara yang langsung terdampak, mengingat tingginya eksposur ekspornya ke pasar Amerika.
“Ekonomi Jepang kehilangan mesin penggeraknya. Ketika konsumsi lemah dan ekspor tertekan, maka setiap guncangan eksternal seperti tarif dari AS bisa menimbulkan kontraksi berantai,” ujar Yoshiki Shinke, ekonom senior dari Dai-ichi Life Research Institute, per Republika.
Apa Implikasinya bagi Sektor Logistik dan Maritim?
Untuk sektor pelayaran dan logistik Asia, penurunan ekspor Jepang dan stagnasi konsumsi domestik bisa memicu penurunan volume muatan kontainer dari pelabuhan-pelabuhan utama seperti Yokohama dan Nagoya. Ini bisa berdampak pada arus logistik regional, terutama bagi pelayaran intra-Asia yang bergantung pada perdagangan Jepang-Korea-ASEAN.
Ditambah dengan meningkatnya ketidakpastian akibat kebijakan tarif AS-Tiongkok, perubahan jalur pelayaran, termasuk potensi overcapacity pada rute Jepang-AS, bisa memperparah fluktuasi tarif pengapalan dan utilisasi kapal. Indonesia, sebagai mitra dagang regional, juga bisa terkena efek limpahan (spillover), baik dari perubahan harga komoditas ekspor Jepang maupun potensi trade diversion yang mendorong konsumen mencari alternatif dari negara lain — yang bisa jadi peluang bagi pelaku industri nasional jika dikelola cermat.
“Dampak kebijakan Trump tidak hanya soal tarif, tapi juga soal sentimen dan strategi pasokan. Semua aktor logistik harus siap melakukan penyesuaian rute dan armada dalam waktu singkat,” kata seorang pelaku industri pelayaran di kawasan ASEAN.
Langkah Selanjutnya
Menteri Revitalisasi Ekonomi Jepang, Ryosei Akazawa, berharap lonjakan upah di sektor swasta bisa menopang pemulihan moderat, namun mengakui ancaman tarif AS tetap harus diwaspadai. Seruan untuk stimulus fiskal tambahan pun mulai terdengar di Tokyo.
Apakah Jepang akan kembali resesi pada kuartal II? Itu tergantung seberapa dalam dan cepat tarif AS mulai menggigit ekspor — dan seberapa sigap pelaku industri merespons dinamika ini.