'Kalatara' Bawa Tenun Nusantara Lintasi Waktu di Fashion Nation XIX

3 hours ago 3

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekayaan budaya Indonesia menjadi sumber inspirasi yang seolah tak ada habisnya, dan tenun Nusantara menjadi salah satu permata yang terus bersinar. Melalui presentasi mode terbarunya, "Kalatara", Perkumpulan Cita Tenun Indonesia (CTI) kembali menegaskan komitmennya untuk melestarikan dan menghidupkan warisan berharga ini.

Acara yang berlangsung di Main Atrium Senayan City ini merupakan bagian dari perhelatan Fashion Nation XIX Edition, sebuah panggung mode prestisius yang selalu konsisten menghadirkan inovasi. Nama "Kalatara" sendiri diambil dari bahasa Sanskerta, kala yang berarti waktu, dan tara yang bermakna menyeberangi. Filosofi ini menggambarkan perjalanan panjang tenun dari akarnya yang sakral dan tradisional menuju tafsir kontemporer yang relevan dengan generasi muda.

Bagi CTI, "Kalatara" adalah penanda penting bahwa tenun bukanlah sekadar artefak masa lalu, melainkan "aksara visual" yang bisa dibaca, ditafsirkan, dan dihidupkan kembali di era modern. Sebagai organisasi nirlaba yang telah konsisten membina para perajin di berbagai daerah sejak 2008, CTI ingin menjadikan acara ini bukan hanya tentang mode, tetapi juga tentang keberlanjutan, pelestarian, dan penghormatan tulus kepada para penenun di balik setiap helai kain.

Presentasi "Kalatara" bukan sekadar ajang peragaan busana, melainkan sebuah ruang dialog antara tradisi dan inovasi. “Kami mencoba mengeksplorasi pewarnaan alam dengan bahan baku yang mungkin tidak ada di daerah lain, jadi warna-warna itu dari tanaman-tanaman di daerah tersebut,” ujar salah satu pengurus CTI, Sjamsidar Isa, pada Selasa (23/9/2025).

CTI berharap dapat memperkuat posisi tenun sebagai bagian tak terpisahkan dari identitas budaya bangsa. “Kami ingin publik melihat tenun sebagai sesuatu yang relevan dengan gaya hidup masa kini tanpa kehilangan jejak asalnya,” kata dia. 

Untuk mewujudkan visi "Kalatara", CTI menggandeng tiga desainer ternama, yaitu Alto Project, Amotsyamsurimuda, dan Wilsen Willim. Ketiganya dipercaya untuk menafsirkan ulang keindahan tenun dari tiga daerah berbeda, yakni Sumba Timur, Manggarai Barat, dan Kapuas Hulu.

Alto Project, yang digawangi oleh Cynthia dan Abirama, membuka peragaan dengan Tenun Ikat dan Tenun Pahikung dari Sumba Timur. Koleksi mereka bertujuan untuk menumbuhkan rasa bangga saat mengenakan tenun, dengan desain yang lebih eksploratif dan modern.

“Kami ingin orang mau pakai tenun dengan pride, karena lebih eksploratif dan modern,” ujar Cynthia.

Senada dengan itu, Abirama mengatakan mereka tidak hanya mengeksplorasi desain yang familier, tetapi juga memberikan nilai-nilai kehidupan yang terjahit di kehidupan Indonesia. Selanjutnya, Amotsyamsurimuda menampilkan koleksi berjudul Ikatan yang Bertahan yang terinspirasi dari Tenun Songket Manggarai Barat. Koleksinya menjembatani keanggunan tradisi dengan estetika menswear urban. “Aku ingin membawa tenun-tenun ini bisa dipakai laki-laki dan perempuan setiap hari,” kata Amot Syamsurimuda.

Wilsen Willim menghadirkan interpretasi kreatif atas Tenun Putussibau khas Suku Iban dari Kapuas Hulu. Tenun yang kaya akan simbol spiritual ini diterjemahkan ke dalam busana modern dengan palet warna tanah dan aksen emas. "Kali ini aku mencoba untuk menghindari materi-materi yang glamour, jadi lebih ke batu alam, mutiara, gitu-gitu," ujar Wilsen.

Read Entire Article
Politics | | | |