REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Total kerugian ekonomi dari sepuluh bencana iklim terbesar di dunia sepanjang 2025, termasuk badai siklon Senyar yang menghantam Sumatra, diperkirakan melampaui 120 miliar dolar AS atau setara lebih dari Rp 1.800 triliun. Fakta ini menandai 2025 sebagai salah satu tahun dengan biaya iklim tertinggi.
Hal ini terungkap dalam laporan terbaru Christian Aid, Counting the Cost 2025: A Year of Climate Breakdown. Peringkat pertama bencana dengan kerugian terbesar yakni kebakaran di California, Amerika Serikat (AS), yang mencapai 60 miliar dolar AS dan menyebabkan kematian lebih dari 400 orang.
Kedua, siklon dan banjir yang melanda Asia Tenggara pada bulan lalu, dengan kerugian 25 miliar dolar AS dan menewaskan lebih dari 1.750 orang di Thailand, Indonesia, Sri Lanka, Vietnam, dan Malaysia. Ketiga, banjir musiman di China dengan kerugian sebesar 11,7 miliar dolar AS dan menewaskan 30 orang.
Laporan tersebut menekankan bencana-bencana ini bukan kejadian alami. Di California, perubahan iklim meningkatkan kemungkinan kondisi cuaca kebakaran ekstrem setidaknya 35 persen.
Sementara itu, terkait badai di Asia Tenggara, ilmuwan mencatat perubahan iklim meningkatkan intensitas badai tersebut sehingga curah hujan melonjak tinggi dan menyebabkan banjir mematikan. Perubahan iklim juga meningkatkan kemungkinan terjadinya topan dengan intensitas seperti Topan Ragasa sebesar 49 persen.
“Bencana iklim ini merupakan peringatan tentang apa yang akan terjadi jika kita tidak mempercepat transisi dari bahan bakar fosil. Bencana ini juga menggarisbawahi kebutuhan mendesak untuk adaptasi, khususnya di negara-negara Selatan, di mana sumber daya terbatas dan masyarakat sangat rentan terhadap guncangan iklim,” kata CEO Christian Aid, Patrick Watt, dalam pernyataannya, Senin (22/12/2025).
Selain kerugian, wilayah-wilayah yang terhantam bencana ini juga mesti menanggung biaya rekonstruksi. Jumlahnya pun cukup signifikan bagi negara-negara berkembang. Contohnya, untuk membenahi kerusakan akibat banjir parah di Sumatra diperkirakan membutuhkan biaya melebihi 3 miliar dolar AS, sementara di Sri Lanka mencapai 6 sampai 7 miliar dolar AS.
“Tahun ini mengungkapkan kenyataan brutal perubahan iklim. Sementara negara-negara kaya menghitung kerugian finansial akibat bencana, jutaan orang di seluruh Afrika, Asia, dan Karibia menghitung nyawa, rumah, dan masa depan yang hilang,” kata Direktur Power Shift Africa, lembaga think tank energi dan iklim yang berbasis di Nairobi, Kenya, Mohamed Adow.
Adow menambahkan, pada tahun 2026, pemerintah harus berhenti menutup mata dan mulai menanggapi dengan memberikan dukungan nyata bagi masyarakat di garis depan, melalui peningkatan pendanaan bagi mereka yang membutuhkan dan pengurangan emisi yang lebih cepat. Sementara itu, Profesor Emeritus Fisika Atmosfer, Imperial College London, Joanna Haigh, mengatakan dunia harus membayar mahal krisis yang sudah diketahui solusinya.
Ia menegaskan, bencana-bencana yang terjadi sepanjang tahun ini bukanlah ‘bencana alam’, melainkan akibat tak terhindarkan dari perluasan penggunaan bahan bakar fosil dan penundaan keputusan politik. Meskipun biayanya mencapai miliaran, beban terberat jatuh pada komunitas dengan sumber daya paling sedikit untuk pulih.
“Kecuali pemerintah bertindak sekarang untuk mengurangi emisi dan mendanai langkah-langkah adaptasi, penderitaan ini hanya akan berlanjut,” tambah Haigh.
Rentetan bencana alam sepanjang tahun 2025 dimulai dengan kebakaran di Los Angeles, Amerika Serikat (AS), pada Januari yang menimbulkan kerugian finansial sebesar 60 miliar dolar AS dan lebih dari 400 kematian. Di saat yang hampir bersamaan, Brazil mengalami kekeringan sejak Januari hingga Juni dengan kerugian mencapai 4,75 miliar dolar AS.
Pada bulan Februari, cuaca ekstrem berupa siklon tropis Alfred melanda Australia yang mengakibatkan kerugian 1,2 miliar dolar AS dan satu kematian, serta siklon Garance di Réunion, Afrika Timur, dengan kerugian 1,5 miliar dolar AS dan lima korban jiwa.
Memasuki pertengahan tahun, banjir musiman di China pada Juni hingga Agustus menyebabkan kerugian 11,7 miliar dolar AS dan lebih dari 30 kematian. Sementara itu, banjir besar di India dan Pakistan pada Juni hingga September merenggut lebih dari 1.860 nyawa dengan kerugian finansial sebesar 5,6 miliar dolar AS.
AS kembali terdampak pada Juli melalui banjir di Texas yang menelan kerugian 1 miliar dolar AS dan lebih dari 135 kematian. Di wilayah lain, Filipina terus didera topan sejak tengah tahun hingga November yang menimbulkan kerugian 5 miliar dolar AS dan ratusan korban jiwa.
Di pengujung tahun, angin topan Melissa menerjang Jamaika, Kuba, dan Bahama pada pertengahan hingga akhir 2025 dengan kerugian 8 miliar dolar AS, di mana jumlah korban jiwa masih dalam tahap tabulasi. Rangkaian bencana tahun ini ditutup dengan badai siklon di Asia Tenggara dan Asia Selatan pada November yang menjadi salah satu peristiwa paling mematikan dengan lebih dari 1.750 kematian dan kerugian finansial mencapai 25 miliar dolar AS.

3 hours ago
4













































