Ketika Kejujuran Tersisih oleh Algoritma

1 day ago 7

Oleh : Jaharuddin, Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah arus deras transformasi digital, ada satu nilai yang perlahan mulai tenggelam dalam kebisingan zaman, kejujuran. Nilai yang dahulu dijunjung tinggi dan dijadikan fondasi dalam berdagang, bermasyarakat, bahkan memimpin, kini semakin terpinggirkan oleh sebuah kekuatan baru yang tak terlihat, tapi begitu menentukan, algoritma.

Dunia digital telah merancang panggungnya sendiri. Siapa yang layak tampil, siapa yang dianggap kredibel, bahkan siapa yang dianggap sukses, kini ditentukan bukan oleh keaslian atau ketulusan, melainkan oleh seberapa besar daya tariknya di mata sistem. Kita memasuki era ketika angka lebih penting daripada makna, dan persepsi mengalahkan realitas.

Yang viral dianggap bernilai. Yang ramai dianggap benar. Sementara itu, kejujuran seringkali berjalan sendirian, tertinggal dalam jejak sunyi, tak mampu bersaing dengan konten yang lebih gemerlap. Ini bukan sekadar perubahan tren. Ini adalah pergeseran mendalam dalam cara kita memandang nilai hidup.

Fenomena ini menyentuh hampir semua lini kehidupan. Di ranah ekonomi, konten digital yang manipulatif dan penuh pencitraan mengalahkan narasi jujur para pelaku UMKM yang mengandalkan etos kerja dan ketulusan. Di ranah sosial, tokoh-tokoh yang bersinar bukan selalu karena prestasi, tetapi karena kelihaiannya mengemas citra. Bahkan dalam dakwah, kita mulai menyaksikan kompetisi popularitas yang tidak sehat di antara mereka yang seharusnya menebar kebenaran.

Dalam semua ini, algoritma menjadi pengatur lalu lintasnya. Mesin yang tidak mengenal etika, hanya bekerja berdasarkan pola keterlibatan, klik, dan sensasi. Kejujuran yang tenang dan bersahaja, tentu kalah langkah dengan kontroversi yang gaduh dan viral.

Namun, menyalahkan teknologi sepenuhnya adalah pendekatan yang tidak adil. Masalah ini bukan terletak pada keberadaan algoritma, melainkan pada orientasi manusia dalam menggunakannya. Kita berhadapan dengan sistem yang netral secara teknis, tapi menjadi bias karena nilai yang kita suntikkan ke dalamnya. Kita yang membentuk budaya “yang viral adalah raja.” Kita pula yang memberi panggung pada konten tanpa isi, dan perlahan-lahan mengubur substansi demi sensasi.

Fenomena ini harus dibaca secara lebih kritis. Bukan hanya sebagai perubahan gaya hidup, tetapi sebagai pergeseran paradigma berpikir. Ketika kejujuran tidak lagi dianggap menguntungkan, dan manipulasi menjadi strategi bertahan hidup, kita sedang menghadapi krisis nilai yang lebih dalam dari yang tampak di permukaan.

Jalan etis menghadapi dominasi digital

Islam sebagai sistem nilai dan peradaban memberikan jawaban yang relevan terhadap krisis ini. Di tengah dunia yang semakin bising oleh algoritma, Islam mengajarkan jalan yang sunyi namun pasti, jalan kejujuran, amanah, dan integritas. Dalam sejarahnya, Rasulullah ﷺ dikenal sebagai Al-Amīn jauh sebelum beliau menjadi nabi. Reputasi itu bukan dibangun oleh konten atau promosi, tetapi oleh konsistensi dan ketulusan.

Kejujuran dalam Islam bukan hanya nilai moral, tapi modal sosial dan spiritual. Pedagang yang jujur disebutkan akan dibangkitkan bersama para nabi dan syuhada. Prinsip ṣidq dalam Islam bukan sekadar menghindari dusta, melainkan tentang keberanian untuk menyampaikan kebenaran, meskipun tidak populer.

Jika diterjemahkan ke dalam konteks ekonomi digital, maka prinsip kejujuran berarti menciptakan sistem yang tidak menipu audiens, tidak memalsukan pencapaian, dan tidak merusak kepercayaan publik demi angka-angka semu. Artinya, bukan hanya individu yang harus menjunjung kejujuran, tetapi juga platform digital, pelaku pasar, dan pembuat kebijakan.

Solusi yang ditawarkan Islam bukan sekadar normatif, tetapi struktural. Ekonomi Islam misalnya, tidak hanya mengatur halal-haram transaksi, tetapi juga menekankan distribusi yang adil. Sistem zakat, infaq, wakaf, dan larangan riba merupakan bentuk intervensi sosial yang menjaga agar kekayaan tidak terkonsentrasi hanya di segelintir orang atau golongan.

Sistem ekonomi kapitalistik yang menjadi fondasi dari algoritma media sosial hari ini pada dasarnya menjadikan atensi publik sebagai komoditas. Yang mampu menarik perhatian—apapun caranya—akan mendapatkan lebih banyak ruang, lebih banyak keuntungan, dan lebih banyak kekuasaan. Maka tidak heran jika konten yang mengandung sensasi, konflik, bahkan kebohongan, sering kali menjadi pemenang.

Islam membalik logika itu. Dalam ekonomi Islam, yang dinilai bukan hanya hasil akhir, tetapi juga cara mencapainya. Barakah—sebuah konsep yang sulit didefinisikan secara kuantitatif—adalah esensi dalam keberhasilan yang hakiki. Seberapapun besarnya keuntungan, jika dicapai dengan cara yang tidak jujur, maka hilanglah keberkahannya.

Dari sisi kebijakan publik, negara juga memiliki peran dalam menciptakan ekosistem digital yang sehat dan beretika. Pemerintah perlu mendorong lahirnya platform-platform lokal yang mengedepankan edukasi, etika, dan kebermanfaatan jangka panjang. Dunia pendidikan juga harus mulai menanamkan literasi digital berbasis nilai, bukan hanya keterampilan teknis. Anak-anak perlu diajarkan bukan hanya cara membuat konten, tapi juga cara mempertanggungjawabkan konten yang dibuatnya.

Lebih dari itu, masyarakat harus mulai membangun budaya apresiasi terhadap kejujuran. Ketika publik hanya memberi panggung pada yang viral, maka pelaku kejujuran tidak akan punya tempat. Tapi ketika publik mulai mengapresiasi mereka yang tulus, jujur, dan membawa kebaikan nyata—meski tanpa efek visual yang gemerlap—maka kita sedang membuka jalan baru untuk ekosistem yang lebih sehat.

Media massa, termasuk Republika, memiliki peran yang sangat penting dalam menyuarakan nilai-nilai ini. Di tengah dominasi konten viral yang sering kali kosong, media berbasis nilai bisa menjadi penyeimbang sekaligus pengarah opini publik ke arah yang lebih substantif. Bukan dengan cara meniru kebisingan dunia maya, tetapi dengan membangun narasi alternatif yang menyejukkan, mencerahkan, dan menggugah hati.

Kejujuran memang tidak selalu menang dalam jangka pendek. Ia sering berjalan pelan, kalah gemerlap, bahkan tampak ketinggalan zaman. Namun dalam jangka panjang, hanya kejujuran yang bisa bertahan. Hanya kejujuran yang mampu membangun kepercayaan, memperkuat pondasi sosial, dan menghadirkan keberkahan.

Di era algoritma, menjaga kejujuran bukan tugas yang ringan. Tapi justru karena itulah ia menjadi sangat penting. Dalam dunia yang semakin terhubung tapi terasa kosong, kejujuran adalah cahaya yang menunjukkan arah. Dan Islam, sebagai agama rahmat bagi semesta alam, memberikan kita peta jalan untuk tetap tegak di tengah zaman yang goyah.

Kita tidak bisa melawan algoritma dengan kemarahan. Tapi kita bisa melampauinya dengan nilai. Dan di antara nilai-nilai itu, kejujuran adalah yang paling mulia. Ia mungkin tidak viral. Tapi ia selalu hidup. Selalu menyala, di hati-hati yang tidak ikut hanyut oleh gelombang waktu.

Read Entire Article
Politics | | | |