
TOPNEWS62.COM, BOGOR -- Di balik tumpukan buku, PR, dan nilai ujian yang dikejar setiap hari, ada anak-anak muda yang diam-diam merasa kosong. Belajar keras, tapi kehilangan makna. Hafal rumus, tapi tak tahu cara hidup. Pintar menjawab soal, tapi gagap menghadapi realita.
Kenapa ini bisa terjadi?
Karena kita terlalu sibuk mengajarkan “apa yang harus dipelajari,”*tapi lupa menunjukkan *“kenapa itu dipelajari.”
Ilmu yang Kehilangan Tujuan
Dulu, para ulama sepakat bahwa ilmu itu cahaya, bukan sekadar alat untuk naik pangkat atau cari kerja. Tapi hari ini, sistem pendidikan seringkali hanya melahirkan anak-anak yang cerdas namun bingung.
Dalam satu wawancara, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkap bahwa banyak siswa merasa cemas, tertekan, bahkan kehilangan motivasi belajar karena sistem yang kompetitif dan tidak mendidik secara utuh. Mereka belajar karena takut bukan karena cinta pada ilmu.
Adab Sebelum Ilmu, Tapi Masihkah Kita Mengajarkannya?
Pendidikan sejati bukan hanya soal angka di rapor, tapi tentang membentuk akhlak dan karakter.
Imam Malik rahimahullah pernah berkata:
"تعلمنا الأدب قبل أن نتعلم العلم"
“Kami mempelajari adab sebelum mempelajari ilmu.”
Kalau kita hanya mengajarkan anak untuk cerdas, tapi tidak untuk hormat kita mencetak generasi yang tahu cara menyalahkan, bukan menghargai.
Guru yang Dipukul, Ilmu yang Hilang
Miris, saat ini guru tidak hanya kehilangan wibawa—tapi juga keamanan.
Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI, 2023), kasus kekerasan terhadap guru meningkat, terutama dari wali murid yang merasa bisa "mengatur" karena posisi sosial atau harta yang dimiliki. Ada guru yang dipenjarakan karena mendisiplinkan anak. Ada yang dipukul karena memberikan hukuman edukatif. Ada pula yang diancam hanya karena memberi nilai jujur.
Lalu siapa yang berani mendidik anak kita dengan benar?
Orang Tua dan Guru Bukan Lawan
Orang tua dan guru seharusnya satu tim, bukan dua kubu yang saling curiga.
Dalam QS. Luqman ayat 13:
وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika dia menasihatinya, 'Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah. Sesungguhnya syirik adalah benar-benar kezaliman yang besar.’” (QS. Luqman: 13)
Ayah bijak seperti Luqman tak hanya mendidik anaknya sendiri, tapi juga memberi pesan kepada seluruh orang tua: bahwa nasihat dan pendidikan itu harus dibangun atas fondasi iman dan akhlak.
Arahkan, Bukan Tekan
Mari kita ubah cara kita melihat pendidikan.
Guru bukan pesuruh. Sekolah bukan tempat penitipan. Anak-anak bukan robot untuk disetel nilainya. Mereka jiwa-jiwa muda yang butuh arah, butuh makna, dan butuh adab.
Jika tujuan ilmu hanya untuk nilai dan ranking, maka tak heran jika setelah lulus banyak yang tak tahu arah.
Tapi kalau kita tanamkan adab sejak awal, ajarkan untuk menghormati ilmu dan pengajarnya, kita bukan hanya mencetak lulusan tapi membentuk manusia.
Akhir Kata: Jangan Biarkan Ilmu Tanpa Hati
Ilmu tanpa adab adalah seperti pedang di tangan orang buta—bisa menyakiti siapa saja, termasuk dirinya sendiri.
Mungkin inilah waktunya kita menoleh ke belakang, melihat ulang niat belajar, sistem yang kita bangun, dan hubungan antara orang tua-guru-siswa. Karena jika tujuan pendidikan hanya untuk dunia maka bersiaplah kehilangan arah saat dunia tak memberi jawaban.
“Barang siapa menuntut ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, atau untuk membantah orang-orang bodoh, atau untuk menarik perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR.Tirmidzi)
Penulis: Irfan Maulana (Alumni PPMS Ulil Albaab Bogor)