REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketimpangan besar antara literasi keuangan konvensional dan syariah menjadi sorotan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hingga 2024, literasi keuangan syariah baru menyentuh 43 persen, jauh tertinggal dari keuangan konvensional yang telah menembus 70 persen.
Hal yang lebih mengkhawatirkan, tingkat inklusi syariah bahkan baru di angka 13 persen. “Survei selama tahun 2024 menunjukkan bahwa tingkat literasi untuk keuangan syariah baru mencapai kurang lebih sekitar 43 persen. Sementara tingkat inklusinya sangat rendah, yaitu baru berkisar 13 persen,” ujar Direktur Pengembangan Pasar Modal OJK Evy Junita saat membuka Sharia Investment Week di Main Hall BEI Jakarta, Kamis (19/6/2025).
Kondisi ini menunjukkan bahwa pasar modal syariah belum menjadi pilihan utama bagi mayoritas masyarakat Indonesia, meskipun penduduk Muslim mendominasi populasi nasional. OJK pun mendesak seluruh pelaku industri untuk mempercepat inovasi dan memperkuat ekosistem syariah secara kolaboratif.
“Kami sangat mengharapkan seluruh pemangku kepentingan, industri, dan pelaku pasar sama-sama berkolaborasi secara intensif untuk bersinergi memberikan inovasi terbaik terkait produk dan layanan syariah,” tegas Evy.
Menurut Evy, potensi pengembangan pasar modal syariah sangat besar. Tak hanya karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, tetapi juga karena produk syariah mulai menarik minat dari kalangan nonmuslim.
“Indonesia memiliki populasi berbasis muslim yang sangat besar. Ini menjadi salah satu potensi sebagai calon investor yang dapat digarap. Meskipun kita tidak menafikan bahwa di luar kelompok muslim, minat terhadap produk syariah juga sangat besar,” ujarnya.
Tren positif juga terlihat dari dominasi generasi muda dalam demografi investor syariah. Data terbaru menunjukkan, investor syariah didominasi oleh kelompok usia sekitar 30 tahun yang menjadi sinyal positif bagi keberlanjutan pasar.
Di sisi regulasi, OJK tengah memperketat kriteria efek syariah untuk menyelaraskan praktik Indonesia dengan standar internasional. Salah satunya melalui penurunan batas rasio utang dan pendapatan nonhalal.
“Ke depan, daftar efek syariah akan disesuaikan. Rasio utang diturunkan dari semula 45 persen menjadi sepertiga (33,33 persen) secara bertahap dalam 10 tahun. Rasio pendapatan halal juga diturunkan menjadi maksimal 5 persen,” jelas Evy.
Namun, Evy mengakui bahwa penerapan prinsip business and operationally close to core activities (BOCK) bisa berdampak pada jumlah emiten syariah. Jika ketentuan itu diterapkan, daftar efek syariah bisa menyusut cukup signifikan.
“Proyek hingga kuartal I 2025, jumlah efek yang masuk daftar syariah ada sebanyak 685. Jika ketentuan BOCK diterapkan, mungkin akan ada cukup banyak emiten keluar dari kriteria daftar efek syariah,” ucapnya.
Meski begitu, OJK tetap melangkah maju dengan semangat harmonisasi global. Penyesuaian rasio utang dan pendapatan dilakukan agar Indonesia selaras dengan standar internasional.
“Benchmark negara lain menunjukkan batasan rasio utang maksimal di kisaran 30–33,” katanya.
Untuk mempercepat transformasi, OJK juga memperkuat kolaborasi dengan sejumlah lembaga kunci seperti Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS), Dewan Syariah Nasional MUI, dan Masyarakat Ekonomi Syariah (MES).
“Kami juga telah melakukan kolaborasi kuat dengan seluruh pemangku kepentingan, yakni bekerja sama dengan KNEKS untuk menyusun MEKSI, koordinasi aktif dengan DSN-MUI, dan kolaborasi dengan MES untuk memperoleh pemikiran baru soal inovasi produk syariah,” kata Evy.