Maaf Ibu, Aku Belum Bisa Pulang...

1 week ago 14
Update Buletin Live Dini Viral Terbaru

Image Dhimas Wisnu Mahendra

Agama | 2025-05-07 13:20:24

Tujuh tahun yang lalu

Nenek itu berkaca-kaca matanya. Sahabatnya sesama penjual kembang untuk ziarah di pasar berbinar menunjukkan sepucuk surat yang diterima dari anaknya nun jauh di perantauan. Tersampai luapan rindu dari seorang anak kepada ibu. Meski lagi-lagi belum bisa mudik musim lebaran kali ini, mendapat kabar cinta saja sudah mengobati rasa kangennya.

Si Nenek turut bahagia untuk sahabatnya, sekaligus diam-diam merasa sedih. Hari ke-21 Ramadhan, jangankan surat, suara pun tak datang dari putera kebanggaan di ibukota, seperti dulu masih kerap menyapa meski lewat telepon menumpang milik tetangga. Ia merasa kesepian. Dalam hati membatin

“Le, bagaimana kabarmu? Tak kangenkah pada Ibu?”

Lima tahun yang lalu

Lelaki itu bersuka cita bersama istri dan anak-anaknya mengendarai mobil anyar mencoba jalan tol baru di jalur mudik Pantura. Meski bermacet ria berpuluhan jam, tapi bayangan lampias pertemuan dengan sanak famili di kampung halaman istrinya, seperti tahun-tahun yang sudah-sudah menjadi bak ritual bagi mereka, menyemangati rombongan berpeluh di terik sengat matahari Ramadhan hari ke-22

Saat menepi sejenak untuk shalat Dzuhur di masjid semasuk Jawa Tengah, lelaki itu melihat seorang ibu peminta sedekah. Nuraninya terketuk, tangannya terulur merogoh kantong dan menjulurkan selembar uang puluhan ribu kepada ibu tua yang mau tak mau mengingatkannya kepada ibunya sendiri yang telah sebatang kara sejak ditinggalkan suami, ayah dari sang lelaki, 7 tahunan yang lalu

“Ibu, bagaimana kabarmu? Maaf, untuk kesekian kalinya, aku belum bisa mudik dan menemuimu ”

Terbayang angguk lembut ibunya seolah mengerti, terkembang lewat senyum si ibu penerima sedekah dari lelaki itu.

“Ibu mengerti, Le. Bergembiralah dengan keluarga istrimu. Doakan saja ibu saat di kesendirianmu.”

Semburat itu memudar.

Ramadhan hari ke-23...

Tiga hari lalu

Ketika malam tiba, area pemukiman itu menjadi gelap dan sunyi. Hanya sesahutan jangkrik yang sesekali mengerik. Beberapa petak kamar sendu menyala. Ada yang mendrip-mendrip bak cahaya kunang-kunang. Ada yang cukup menerangi bagai lampu petromaks, dan ada yang benderang bak dipijari lampu neon.

Petak nenek itu gelap. Dalam pekat di sudut air mata mulai meleleh.

“Apa kabarmu, hai cahaya permata perkasaku? Tak ingatkah kau kepada Ibu?”

Cahaya-cahaya yang menyala itu adalah kiriman Al Fatihah dan do’a bagi para mayat dari kerabat yang teringat dan melayangkan sempat. Jika ada sesekali cercah byarrr pet! menyeruak ke petaknya, biasanya itu adalah sedekah do’a dari peziarah yang ingat mendo’akan para ahli kubur pada taman pemakaman tersebut. Anak-anak yang ingat mengunjungi orang tuanya, yang kini telah menjadi tetangganya. Tapi cahaya yang paling diidamkan, kiriman salam yang paling diangan dan diinginkan, basuh pemuas dahaga kerinduan berwindu tanpa bertemu, masih belum datang juga, meski sudah dasawarsa lalu waktu.

Dan ibu itu sesunggukan tersedu

"Le, kapan kau ingat mengunjungi ibu?"

Terbayang di pelupuk benak, putera kesayangan yang dulu dibanggakannya. Ia bangga ketika puteranya sukses karirnya, bahagia kehidupan rumah tangganya, berlimpah kekayaannya. Sayang, puteranya lupa, lupa mengunjungi, jangankan sesekali, bahkan pun tak sekali.

“Tak berkunjung tak mengapa Nak, tetapi tidakkah bahkan kau ingat, ingat untuk mendoakan? Ibumu yang fakir di kuburnya ini? Ibu yang dahulu meregang nyawa melahirkanmu, dan pontang-panting membesarkan dirimu.”

Seketika sesal merebak di dada, bukan sesal karena memiliki putera yang melupakannya, tapi sesal karena ia lupa, yang terpenting bukan memiliki anak yang berhasil di dunianya, tapi membekali untuk persiapan akhiratnya.

Ia tak membekalinya dengan ilmu. Baginya itu urusan sekolah dan para guru. Yang penting ia berupaya menyekolahkannya hingga kuliah, lalu bekerja di tempat bergengsi dan punya gaji lebih dari mencukupi. Kini ia tak punya anak sungai kiriman ilmu yang bermanfaat yang semestinya ia wariskan kepada anaknya. Ia sempat berharap menerima kiriman pahala mengalir dari amal jariyah kebiasaan bersedekah, tapi ternyata itu pun tak cukup menyalakan pelita semalaman di dalam kuburnya.

Ia pasrah. Pintu ketiga yang diharapkan ketika pintu amal dunianya telah tertutup, adalah anak shalih yang senantiasa mendoakan kedua orang tua.

Dan ia terus menunggu

Nyaris putus asa, hatinya tersayat, pedih pilu

"Sepuluh tahun, Le, kapan kau terketuk ingat mampir pusara dan doakan ibumu?"[]

---

Dhimas Wisnu Mahendra.

Hamba Allah.

Abdi Negara “Nyambi” Abdi Budaya.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |