REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyakit tuberkulosis (TBC) masih menjadi tantangan besar di dunia kesehatan. Selain menyerang paru-paru, TBC dapat memicu komplikasi serius berupa tuberkuloma, yaitu terbentuknya massa atau lesi di otak.
Untuk mendeteksi kondisi ini, diperlukan pemeriksaan citra medis detail, salah satunya melalui Magnetic Resonance Imaging (MRI). Sayangnya kualitas citra MRI sering terganggu noise dan rendahnya kontras sehingga menyulitkan identifikasi area lesi secara akurat.
Menurut Kanita Salsabila Dwi Irmanti, mahasiswi Program Studi Sains Data Universitas Nusa Mandiri (UNM), sains mengatakan data kini memainkan peran penting dalam meningkatkan akurasi deteksi area tuberkuloma pada citra MRI.
“Dalam citra MRI, noise sering muncul seperti bintik halus atau kabut tipis yang menutupi gambar. Akibatnya, detail kecil yang penting menjadi sulit terlihat sehingga proses diagnosis membutuhkan waktu lebih lama,” ujar Kanita dalam keterangan tertulis, Senin (9/6/2025).
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, Kanita bersama rekannya Desi Masdin Dama, di bawah bimbingan Dosen Program Studi Sains Data UNM Taopik Hidayat menerapkan teknik pemrosesan citra digital guna meningkatkan ketajaman citra MRI sehingga area tuberkuloma dapat terdeteksi lebih cepat dan akurat.
Kanita menjelaskan, dalam penelitian ini mereka menggunakan dataset citra MRI otak dari repositori dataset publik yang berisi berbagai klasifikasi tumor, sehingga memberikan gambaran berbeda tentang struktur dan kondisi jaringan dalam tubuh.
“Tahap pra-pemrosesan pada citra MRI dilakukan untuk mengurangi noise dengan menggunakan teknik Gaussian blurring, median blurring, dan sharpening,” jelasnya.
Desi Masdin Dama memaparkan, setelah tahap pra-pemrosesan, mereka menerapkan empat metode peningkatan kualitas citra, yaitu segmentasi, thresholding, negasi, dan embossing. Setiap metode diuji efektivitasnya dalam memperjelas area tuberkuloma menggunakan metrik Structural Similarity Index Measure (SSIM).
Dari hasil pengujian, embossing terbukti memberikan hasil terbaik dibandingkan metode lainnya. Metode embossing memberikan nilai SSIM tertinggi, yaitu 0.9283 untuk citra posisi atas dan 0.9345 untuk citra posisi bawah.
“Sebagai perbandingan, metode segmentasi hanya menghasilkan nilai SSIM sebesar 0,1384 dan 0,1017, sedangkan metode thresholding mencatat 0,4936 dan 0,2574. Adapun metode negasi menunjukkan hasil negatif, yaitu -0,2417 dan -0,2155,” ungkapnya.
Desi menambahkan, temuan ini memperkuat bahwa teknik embossing paling efektif dalam meningkatkan ketajaman dan kontras citra MRI untuk mendukung deteksi tuberkuloma secara lebih akurat.
Menanggapi hasil ini, Taopik Hidayat mengapresiasi pencapaian Kanita dan Desi. Ia berharap penelitian ini dapat menjadi inspirasi bagi mahasiswa lain untuk terus mengasah keterampilan analitis, memperkuat kreativitas, serta mendorong inovasi.
“Kami mendorong lulusan Sains Data UNM untuk menjadi talenta unggul dengan kemampuan teknis yang kuat, berpikir kritis, kreatif, adaptif, serta siap berkontribusi di berbagai sektor industri,” tutupnya.