Muliadi Saleh
Agama | 2025-06-02 11:32:34
MANUSIA SILVER: Bukan Sekadar Mengemis, Ini Jeritan Bangsa yang Lelah!
Mereka muncul pertama kali sekitar 2017–2018, dari sebuah unggahan media sosial: seorang pemuda mengecat tubuhnya dengan warna perak, beratraksi di jalan demi recehan. Awalnya tampak seperti seni jalanan, tapi lambat laun berubah menjadi strategi bertahan hidup.
Pandemi COVID-19 menambah panjang barisan manusia yang terlempar dari dunia kerja. Cat perak pun menjelma jubah para pengais harapan. Kini, hampir di setiap perempatan kota besar—Jakarta, Surabaya, Makassar, hingga Medan—kita melihat mereka. Tubuh-tubuh kurus, dilapisi cat logam, berdiri mengiba di hadapan mobil-mobil mewah. Anak-anak kecil ikut serta dalam parade kesedihan ini.
Mereka bukan badut jalanan, bukan penari api, bukan pula seniman. Mereka adalah simbol: lambang luka dan kegagalan sosial kita bersama.
Apa yang Membuat Fenomena Ini Makin Subur?
Pertama, kemiskinan struktural. Banyak dari mereka berasal dari keluarga yang terlempar dari jaminan sosial dan pendidikan yang layak. Tak ada keterampilan. Tak ada lapangan kerja. Tak ada harapan.
Kedua, longgarnya kontrol sosial dan hukum. Tidak semua daerah memiliki kebijakan yang tegas terhadap eksploitasi anak dan pekerja jalanan. Bahkan, sebagian aparat membiarkannya, seolah berkata: “Ah, mereka tidak membahayakan.”
Ketiga, budaya instan dan viralitas. Beberapa manusia silver menjadi viral di TikTok atau YouTube. Kisah “sukses” mereka justru memancing gelombang baru, yang ikut turun ke jalan bukan karena terdesak, tapi demi konten dan sensasi.
Perspektif: Negara, Agama, dan Kemanusiaan
Dari kacamata negara, manusia silver adalah tamparan keras: pembangunan tidak merata, data sosial tak menyentuh rasa, dan kehadiran negara kerap tanpa sentuhan jiwa.
Dari kacamata agama, ini soal amar makruf nahi munkar. Islam, misalnya, sangat menganjurkan kerja dan melarang mengemis jika masih mampu. Rasulullah SAW bersabda:
"Sungguh, seseorang di antara kalian mengambil seutas tali lalu pergi ke gunung membawa kayu bakar di punggungnya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain." (HR. Bukhari)
Ajaran Kristen, Hindu, dan Buddha pun menekankan kerja keras dan kasih terhadap sesama. Tapi kasih sejati bukanlah memberi recehan di lampu merah, melainkan menciptakan jalan keluar dari lorong kemiskinan.
Dari kacamata kemanusiaan, manusia silver adalah cermin retak: jika di kota sebesar ini, seseorang harus mengecat tubuhnya hanya untuk makan, maka kemanusiaan kita sedang dalam krisis nurani.
Lalu, Tanggung Jawab Siapa?
Tanggung jawab ini milik kita semua.
Pemerintah harus membenahi data sosial, menciptakan lapangan kerja berbasis komunitas, dan melibatkan LSM, kampus, serta tokoh agama dalam edukasi publik.
Dunia pendidikan dan media harus mengangkat literasi kemiskinan: bahwa mengemis bukan solusi, bahwa bekerja itu bermartabat, dan bahwa hidup bisa berubah jika dibantu dengan cara yang benar.
Orang tua dan keluarga juga punya peran vital: jangan biarkan anak-anak menjadi korban eksploitasi jalanan.
Dan kita, para pengguna jalan, perlu berhenti memberi recehan perak jika ingin tragedi ini benar-benar berhenti.
Solusi Kebijakan: Tak Sekadar Penertiban
Kebijakan jangan hanya represif. Penertiban boleh, tapi harus diiringi pendampingan yang manusiawi.
Contohnya:
- Membentuk unit sosial respons cepat untuk menjangkau para manusia silver dan memberikan pelatihan keterampilan.
- Menyediakan rumah singgah serta pelatihan kewirausahaan sederhana: membuat sabun, daur ulang, hingga seni jalanan yang lebih etis dan aman.
- Memberdayakan anak-anak jalanan melalui sekolah alternatif, hasil kolaborasi Pemda, komunitas rohani, dan kelompok budaya.
Solusi Agama dan Kearifan Lokal
Solusi berbasis agama bisa menjadi jembatan perubahan mental.
Penguatan majlis taklim, gereja peduli sosial, pondok pesantren keterampilan, dan komunitas wihara kerja sosial adalah langkah nyata. Khotbah dan ceramah pun harus menyentuh persoalan ini secara serius: bahwa bekerja adalah ibadah, dan meminta-minta tanpa alasan syar’i adalah kezaliman terhadap diri sendiri.
Di Sulawesi, kita punya budaya sipakatau—saling memanusiakan. Kita bantu bukan karena kasihan, tapi karena merasa satu nasib. Program pemberdayaan bisa dimulai dari desa, karena banyak manusia silver datang dari pinggiran kota yang kehilangan tanah dan pekerjaan.
Kembalikan Warna Asli Manusia
Warna perak di tubuh mereka hanyalah topeng. Di balik kilau palsu itu ada tangis, ada luka, ada suara lirih: “aku juga manusia.”
Jika kita hanya memotret mereka untuk story Instagram tanpa pernah bertanya, “Apa kabarmu? Apa mimpimu?”, maka kita sedang ikut membunuh harapan mereka.
Maka berhentilah memberi uang di perempatan.
Mulailah memberi peluang.
Karena setiap manusia berhak untuk tidak hidup dalam cat perak.
Penulis: Muliadi Saleh
Disclaimer
Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.