Masjid Milik Siapa?

20 hours ago 5

Image Hasan Komarudin

Agama | 2025-05-29 21:09:05

Hasan Komarudin | Ketua Forum Komunikasi Remaja Masjid Lebak

Bayangkan suatu malam, di tengah perjalanan panjang, kamu merasa lelah, haus, dan ingin menunaikan salat. Kamu singgah di sebuah masjid di pinggir jalan. Tapi, pintu pagar terkunci rapat, lampu halaman mati, tak ada seorang pun yang menyambutmu. Bahkan WC-nya pun tak bisa digunakan. Sejenak kamu berdiri di depan pagar itu, tertegun. Bukankah masjid seharusnya menjadi tempat paling ramah bagi siapa pun yang ingin mendekat kepada Tuhan? Lalu, kenapa masjid itu terasa seperti properti pribadi, bukan rumah Allah.

Fenomena masjid yang tutup di malam hari seolah menjadi hal yang wajar di beberapa daerah. Jam operasional masjid seakan meniru jam kerja kantor: buka pagi, tutup malam. Ada yang jam sembilan, ada yang jam sepuluh malam sudah terkunci. Alasannya macam-macam. Yang paling sering terdengar adalah alasan keamanan: takut ada yang mencuri kotak amal, atau barang-barang lainnya. Tapi mari kita pikir sejenak: jika masjid ramai dikunjungi jamaah atau sekadar dijaga dengan sistem shift petugas yang bergiliran, siapa yang berani berbuat jahat? Bukankah keramaian adalah benteng keamanan paling efektif?

Lucunya lagi, ada juga masjid yang dikunci malam-malam demi menjaga kesucian tempat ibadah. Seolah-olah, kesucian masjid hanya bisa dijaga dengan menggembok pintu dan menjauhkan manusia dari tempat itu. Ironis. Masjid yang katanya rumah Allah justru ditutup rapat dari umat-Nya. Bukankah semakin banyak manusia yang datang, berdiam, berzikir, membaca Al-Qur’an, justru semakin menambah keberkahan dan kesucian tempat itu? Lalu mengapa masjid malah dikosongkan dan dibiarkan sepi demi dalih suci?

Lebih aneh lagi, beberapa masjid menempelkan tulisan "Dilarang Tidur di Masjid", "Dilarang Berjualan", atau bahkan "Dilarang Masuk Selain Waktu Salat". Beberapa bahkan menarik tarif parkir berkedok infak, tapi dengan pendekatan yang cukup memaksa. Bayangkan kamu sedang buru-buru mau salat, motor kamu diparkir di area masjid, lalu ada yang menagih dengan wajah tidak ramah, "Infaknya, Bang." Uangnya pun ditentukan, bukan seikhlasnya. Kalau tidak bayar, bisa dipelototi. Lalu sejak kapan masuk masjid jadi semahal masuk konser?

Ada juga masjid yang mengaku tidak memperbolehkan aktivitas jualan di area ibadah, tapi justru pengurus masjidnya sendiri yang membuka lapak di halaman. Spanduk dilarang jualan terpampang besar, tapi di bawahnya meja kecil menjual air mineral dan snack atas nama “kas masjid”. Bukankah ini bentuk inkonsistensi yang aneh? Jika masjid melarang jualan, maka seharusnya larangan itu berlaku bagi semua pihak. Tapi jika memang ingin mendukung aktivitas ekonomi kecil jamaah, maka bukalah dengan adil dan bijak, bukan dengan standar ganda.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi dengan wajah masjid hari ini? Apakah masjid hanya menjadi tempat eksklusif untuk yang sudah taat? Apakah masjid hanya untuk lima waktu salat dan selesai? Apakah kita ingin menjadikan masjid sekadar bangunan simbolik yang rapi dan bersih, tapi jauh dari denyut kehidupan masyarakat?

Coba kita balik logikanya. Seandainya masjid justru dibuka 24 jam, dengan penerangan yang cukup, fasilitas yang sederhana namun lengkap, apakah itu akan membawa mudarat atau manfaat? Bayangkan ada seseorang yang hidupnya jauh dari agama, suatu malam ia merasa kosong, gelisah, dan ingin menenangkan diri. Ia melangkah ke masjid, duduk di teras, memandangi langit malam, mendengar bacaan Qur’an dari pengeras suara, lalu pelan-pelan hatinya luluh. Bukankah itu tujuan awal masjid dibangun? Menjadi tempat kembali, menjadi rumah kedua yang selalu terbuka, apa pun kondisi iman seseorang?

Kita sering kali terjebak pada urusan fisik dan administrasi masjid: besar, megah, AC dingin, marmer berkilau, sound system canggih. Tapi kita lupa bahwa jiwa masjid bukanlah pada fisiknya, melainkan pada keterbukaannya. Masjid menjadi besar bukan karena menara yang menjulang, tapi karena hatinya yang lapang menerima siapa pun yang datang.

Apa salahnya kalau masjid mulai berinovasi dengan menyediakan hal-hal kecil yang membuat orang betah? Seperti air minum gratis, colokan listrik di serambi, wifi gratis di ruang belajar Al-Qur’an, atau bahkan mushaf digital yang bisa dipinjam. Kita tidak sedang menciptakan kafe atau tempat nongkrong, tapi membuat ruang yang ramah bagi generasi muda. Jangan remehkan kekuatan kenyamanan. Dari kenyamanan, tumbuh rasa ingin tinggal. Dari rasa tinggal, tumbuh rasa ingin mengenal. Dari mengenal, tumbuh keimanan.

Ada yang mungkin berkomentar, “Tapi nanti kalau banyak anak muda datang hanya untuk main HP, bukan salat?” Baik, mari kita jawab. Memangnya lebih baik membiarkan mereka nongkrong di tempat yang jauh dari agama? Apa salahnya jika mereka berada di masjid, walau awalnya hanya untuk duduk-duduk? Siapa tahu, dari situ mereka mulai tertarik ikut ngaji, ikut salat berjamaah, dan akhirnya berubah. Kita ini sering kali terlalu cepat menilai, padahal hidayah Allah itu bisa datang dari mana saja. Bahkan dari duduk diam di pojok masjid sambil menatap sajadah.

Masjid bukan tempat seleksi bagi orang-orang yang sudah baik. Masjid adalah tempat proses, tempat pembentukan. Sama seperti sekolah. Tidak semua murid langsung pintar. Mereka belajar dari nol. Begitu juga masjid. Jangan hanya terbuka bagi yang sudah fasih baca Al-Qur’an, atau yang sudah hafal doa-doa. Tapi terbukalah untuk semua, termasuk mereka yang masih bingung dengan hidupnya, masih belajar mencintai Tuhannya.

Remaja hari ini menghadapi tantangan hidup yang luar biasa. Teknologi, distraksi, tekanan sosial, krisis identitas. Mereka butuh tempat berlindung yang tidak menghakimi. Masjid bisa jadi tempat itu. Tapi bagaimana mungkin masjid bisa memberi kehangatan jika gerbangnya saja tertutup? Bagaimana mungkin masjid bisa jadi tempat kembali kalau yang dicari justru diusir halus dengan gembok dan tulisan peringatan?

Sudah saatnya kita mendesain ulang cara kita mengelola masjid. Bukan cuma soal kebersihan dan keamanan, tapi soal fungsi sosial dan spiritual. Pengurus masjid seharusnya bukan hanya memikirkan bagaimana menutup pintu dengan aman, tapi bagaimana membuka hati masyarakat untuk kembali datang. Pengurus masjid seharusnya bukan hanya mengatur jadwal adzan dan pengajian, tapi juga hadir di tengah anak muda, berbincang, mendengar, memahami.

Bayangkan jika setiap masjid memiliki ruang terbuka 24 jam. Ada pojok baca, ada ruang diskusi, ada penjaga yang ramah menyambut siapa saja. Tidak mewah, tapi hidup. Tidak eksklusif, tapi inklusif. Mungkin kita akan melihat lebih banyak anak muda nongkrong di masjid daripada di minimarket. Mungkin kita akan melihat lebih banyak senyum di serambi masjid daripada di timeline media sosial. Mungkin kita akan menemukan kembali ruh Islam sebagai agama yang mengayomi dan membimbing, bukan membatasi dan menakuti.

Pertanyaan dasarnya tetap sama: masjid itu milik siapa? Jika jawabannya adalah milik Allah, maka siapa pun yang ingin mendekat kepada-Nya seharusnya tidak boleh dihalangi. Jika jawabannya adalah milik umat Islam, maka umat Islam dari berbagai latar belakang, dari yang saleh sampai yang sedang belajar, semuanya berhak masuk dan merasa diterima. Jika jawabannya adalah milik masyarakat, maka masjid seharusnya menjadi tempat yang hidup bersama denyut masyarakat, bukan terasing seperti museum.

Kita tidak butuh masjid mewah jika hatinya tertutup. Kita butuh masjid yang sederhana tapi selalu terbuka. Masjid yang bersahabat, yang mengerti, yang sabar menunggu mereka yang sedang tersesat. Karena hidayah tidak bisa dipaksa, tapi bisa dijemput. Dan masjid adalah salah satu tempat terbaik untuk menjemputnya.

Mari ubah cara kita memandang masjid. Bukan lagi sebagai bangunan yang harus dijaga dari manusia, tapi sebagai rumah yang harus diramaikan oleh manusia. Rumah yang tidak mengenal kata “tutup”, karena Tuhannya pun tidak pernah menutup pintu-Nya bagi siapa pun yang ingin pulang.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |