Oleh : Jaharuddin (Pengamat Ekonomi Syariah, Dosen FEB Universitas Muhammadiyah Jakarta)
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Dunia, melalui laporan Global Economic Prospects edisi Januari 2025, mengabarkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang stagnan di angka 2,7 persen untuk tahun 2025–2026. Ini bukan hanya angka statistik—ini sinyal global bahwa ekonomi dunia sedang kehabisan tenaga. Pertumbuhan seperti ini tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan atau mengangkat negara-negara miskin ke kelas menengah. Bahkan Bank Dunia memperingatkan, "Most low-income countries are unlikely to graduate to middle-income status by the middle of the century." (World Bank, 2025, hlm. 1).
Masalah bukan hanya soal lambatnya pertumbuhan, tetapi siapa yang menikmatinya. Ketimpangan ekonomi global membesar. Negara maju terus mengakumulasi kekayaan, sementara negara berkembang dan miskin tergilas oleh utang luar negeri, inflasi tinggi, dan krisis iklim yang memperburuk kerentanan mereka. Pertanyaan mendasar pun muncul, apakah arsitektur ekonomi global hari ini masih layak dipertahankan?
Dalam konteks inilah, gagasan Ibnu Khaldun—filsuf dan sejarawan Muslim abad ke-14—menawarkan cahaya pemikiran yang sangat relevan. Model pembangunan yang ia rumuskan bukan hanya bersifat moral, tetapi juga sistemik dan multidimensi. Dan yang lebih penting, ia sangat kontekstual untuk menjawab kebuntuan pembangunan global saat ini.
Stagnasi dan Ketimpangan, Tanda Gagalnya Model Global Saat Ini
Bank Dunia dalam laporannya menyebut tantangan besar yang dihadapi negara-negara berkembang dan miskin, adalah beban utang yang melonjak, ketidakpastian kebijakan global, krisis iklim, dan melambatnya produktivitas. Bahkan negara-negara yang tergolong Emerging Markets and Developing Economies (EMDEs) kini menghadapi risiko stagnasi struktural karena ketergantungan pada ekspor primer dan lemahnya daya tahan fiskal.
Salah satu bagian paling mencolok dalam laporan itu adalah pengakuan bahwa negara-negara berpenghasilan rendah (LICs) menghadapi “failing graduation prospects”—gagal naik kelas ekonomi—karena lemahnya infrastruktur kelembagaan, rapuhnya basis pendapatan domestik, dan rendahnya investasi dalam sumber daya manusia. Ini bukan hanya kegagalan teknis. Ini adalah kegagalan sistemik dari model pembangunan global yang bertumpu pada utang, liberalisasi, dan ketimpangan struktural.
Model pembangunan konvensional terbukti gagal menciptakan pertumbuhan yang inklusif. Bahkan saat ekonomi tumbuh, yang kaya makin kaya, sementara sebagian besar populasi dunia tetap dalam jurang ketidaksetaraan. Paradoks ini menunjukkan bahwa kita membutuhkan pendekatan baru, yang tidak hanya menargetkan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga keadilan, keseimbangan, dan keberlanjutan.
Model Pembangunan Ibnu Khaldun, Integrasi Keadilan dan Ketahanan
Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menawarkan model pembangunan yang berbasis interdependensi lima elemen utama: negara (G), institusi (S), sumber daya manusia (N), kekayaan (W), dan keadilan (j)—semuanya saling memengaruhi dalam menciptakan pembangunan (g). Model ini divisualisasikan dalam bentuk siklus yang saling terhubung dan disebut sebagai hikamiyyah atau “delapan prinsip kebijaksanaan” (Chapra, 2006).
Secara matematis, ia merumuskannya sebagai: G = f(S, N, W, j, g)
Ini bukan sekadar formula. Ini adalah gagasan radikal bahwa pembangunan bukan hasil dari satu faktor (seperti investasi atau ekspor), tetapi hasil dari sistem sosial dan moral yang utuh, yang ditopang oleh keadilan, kepemimpinan yang adil, dan masyarakat yang berdaya.
Mari kita bedah beberapa elemen pentingnya dalam konteks ekonomi global hari ini.
Negara sebagai Penjamin Keadilan Ekonomi
Dalam ajaran Ibnu Khaldun, negara tidak boleh netral dalam urusan ekonomi. Ia harus aktif menyingkirkan hambatan, menjamin distribusi kekayaan, dan menegakkan keadilan. Negara yang tunduk pada logika pasar atau hanya bertindak sebagai regulator tidak akan mampu membela rakyat kecil dari ketidakadilan struktural.
Sayangnya, dalam konteks saat ini, banyak negara miskin kehilangan peran ini karena terjerat utang luar negeri dan tunduk pada persyaratan lembaga keuangan internasional. Hal ini menyebabkan hilangnya kedaulatan ekonomi dan politik. Ibnu Khaldun mengingatkan bahwa negara yang mengabaikan kesejahteraan rakyatnya akan mengalami degradasi legitimasi dan pada akhirnya kehancuran.
Institusi dan Moralitas Publik sebagai Pondasi
Ibnu Khaldun menegaskan bahwa keberhasilan pembangunan sangat bergantung pada institusi yang jujur, adil, dan bertanggung jawab. Ia menyebut pentingnya syariah bukan sekadar sebagai hukum agama, tetapi sebagai sistem nilai yang menciptakan solidaritas sosial.
Dalam laporan Bank Dunia, disebut bahwa perlambatan pembangunan juga terkait dengan lemahnya kelembagaan, rendahnya kapasitas pemerintahan, dan buruknya tata kelola fiskal. Ini membuktikan bahwa pembangunan tidak bisa berjalan di atas institusi yang korup dan lemah secara moral.
Institusi dalam kerangka Islam adalah wadah kejujuran, kerja sama, dan transparansi. Tanpa ini, pembangunan hanya menjadi ajang akumulasi kekayaan oleh segelintir elit.
Pembangunan Manusia adalah Kunci
Bank Dunia menekankan pentingnya investasi dalam sumber daya manusia, namun model pembangunan Barat sering mengurung manusia dalam kerangka produktivitas ekonomi semata. Sebaliknya, Ibnu Khaldun melihat manusia sebagai tujuan dan alat pembangunan, makhluk berakal yang bisa mencipta, membangun, dan mempertahankan peradaban.
Ketika manusia disejahterakan—pendidikan baik, kesehatan terjamin, hak-haknya dilindungi—maka produktivitas akan muncul secara alami. Namun jika manusia hanya dilihat sebagai “tenaga kerja murah”, maka kemajuan ekonomi akan rapuh dan tidak berkelanjutan.
Kekayaan Harus Mengalir, Bukan Ditimbun
Ibnu Khaldun menulis bahwa kekayaan bukan untuk ditimbun, tapi untuk dibelanjakan demi kebaikan bersama. Dalam dunia hari ini, sistem pajak dan kekayaan cenderung menguntungkan segelintir korporasi besar, sementara mayoritas tidak memperoleh manfaatnya. Negara-negara miskin tidak mampu menaikkan pendapatan negara karena basis pajaknya lemah dan sistem redistribusi tidak efektif.
Islam menawarkan pendekatan fiskal melalui zakat, wakaf, dan larangan riba—semua dirancang untuk mengalirkan kekayaan ke kelompok rentan. Di sinilah relevansi ekonomi Islam menjadi sangat nyata, bukan sekadar sistem nilai, tetapi sistem keuangan alternatif.
Keadilan sebagai Inti Segala Hal
Pilar utama Ibnu Khaldun adalah keadilan. Bagi beliau, keadilan bukan hanya nilai, tetapi syarat mutlak keberlangsungan peradaban. Ketika keadilan hilang—dalam distribusi, hukum, kepemimpinan, dan ekonomi—maka kehancuran hanya tinggal menunggu waktu.
Bank Dunia mengakui bahwa pembangunan global saat ini gagal dalam hal inklusi dan pemerataan. Di sinilah ekonomi Islam harus tampil bukan hanya sebagai sistem keuangan syariah, tapi sebagai sistem keadilan sosial. Keadilan dalam upah, akses tanah, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan hukum adalah syarat utama pembangunan yang bermakna.
Dari Pertumbuhan ke Keberadaban
Laporan Bank Dunia 2025 memperlihatkan bahwa ekonomi dunia sudah berada di titik jenuh. Pertumbuhan ekonomi tidak lagi menjanjikan kemajuan kolektif. Ketimpangan membesar. Negara-negara miskin semakin tertinggal. Dan manusia kehilangan harapan.
Model Ibnu Khaldun bukan hanya alat analisis, tapi ajakan untuk berpikir ulang. Ia mengingatkan bahwa pembangunan bukan tentang angka, tapi tentang manusia dan keadilan. Dunia membutuhkan arah baru yang tidak hanya bertumpu pada pertumbuhan ekonomi, tapi pada pemerataan, integritas, dan keseimbangan.
Ekonomi Islam, sebagaimana dirumuskan Ibnu Khaldun, bukanlah utopia. Ia adalah sistem yang menyatukan nilai moral, struktur institusi, dan kebijakan praktis untuk membangun masyarakat yang sejahtera. Kini saatnya dunia berhenti menambal kebocoran, dan mulai membangun ulang pondasi yang retak.