Jamaah haji kelompok terbang (kloter) pertama debarkasi Kertajati turun dari bus setibanya di Asrama Haji Indramayu, Jawa Barat, Jumat (13/6/2025). Sebanyak 445 jamaah haji asal Kabupaten Bandung tiba di tanah air usai menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.
Oleh : Muchlis M Hanafi*
REPUBLIKA.CO.ID, MAKKAH -- Ibadah haji bukanlah praktik baru dalam Islam. Ia merupakan warisan agung sejak masa Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail 'alaihimas-salâm. Namun seiring berjalannya waktu, pelaksanaan ibadah ini mengalami pasang surut, termasuk dalam hal layanan terhadap para jemaah haji.
Yang menarik, jauh sebelum datangnya Islam, masyarakat Arab telah mengenal sejumlah bentuk pelayanan haji, yang secara sosial menjadi lambang kehormatan dan kepemimpinan.
Dua istilah yang paling dikenal dari zaman itu adalah as-Siqâyah (penyediaan air minum untuk jemaah) dan ar-Rifâdah (pelayanan makanan). Keduanya menjadi tugas mulia yang diwariskan turun-temurun di tengah masyarakat Quraisy. Namun bagaimana sejarahnya? Dan bagaimana Islam mereformasi makna pelayanan ini?
Dari Jurhum ke Khuza‘ah: Layanan yang Disalahgunakan
Setelah wafatnya Nabi Ismail (1590 SM), kepemimpinan atas Ka‘bah dan wilayah sekitarnya jatuh ke tangan suku Jurhum. Awalnya mereka menjaga kesucian tanah haram dan melayani jemaah dengan baik. Namun seiring waktu, kekuasaan membuat mereka lalai. Rumah Allah dijadikan alat politik dan ekonomi. Mereka mempermainkan amanah, menyelewengkan hak orang lain, bahkan mengotori tanah suci dengan pertikaian.
Akhirnya, kaum Jurhum pun diusir oleh suku Khuza‘ah, keturunan Qahthan, yang datang dari Yaman. Khuza‘ah pun menguasai Makkah dan memegang tampuk kepemimpinannya selama hampir lima ratus tahun. Di masa Khuza‘ah, pelayanan terhadap jemaah kembali tertata. Muncul sistem awal siqâyah dan rifâdah. Bahkan dalam catatan sejarah, ‘Amr bin Luḥayy al-Khuzā‘ī dikenal sebagai tokoh pertama yang memperkenalkan konsep hospitality, yaitu “tamu Allah harus dihormati dan dilayani.”
Sejarah mencatat ia adalah orang pertama yang menyuguhkan makanan dan minuman kepada para jemaah haji. Ia memberikan hidangan daging unta dan melindungi para jemaah dari perampokan, serta memberi mereka pakaian dari kain tebal. Ia biasa menyajikan kepada jamaah haji daging unta muda yang dimasak di atas tsarîd, sebuah hidangan khas Arab berupa roti pipih yang disiram kuah daging atau sayur, dan dianggap mewah dan bergizi di masa itu.