Mengapa Sejarah Bangsa tidak Perlu Ditulis Ulang

6 hours ago 3

Image Umar Wachid B. Sudirjo

Sejarah | 2025-05-09 18:22:30

Oleh: Umar Wachid B Sudirjo

Opini ini ditulis sebagai refleksi atas maraknya wacana penulisan ulang sejarah Indonesia di era keterbukaan informasi dan kebebasan berpikir. Tulisan ini bertujuan untuk mengajak masyarakat menjaga kontinuitas sejarah sebagai landasan identitas nasional.

---
Di tengah derasnya arus keterbukaan informasi dan berkembangnya nalar kritis di masyarakat, muncul wacana penulisan ulang sejarah Indonesia. Banyak yang berpendapat bahwa sejarah perlu "dikoreksi" agar lebih adil dan sesuai dengan fakta-fakta baru. Namun bagi saya, penulisan ulang sejarah bangsa justru berpotensi menghancurkan fondasi identitas nasional dan membuka celah bagi disintegrasi.

Izinkan saya menyampaikan gagasan ini melalui analogi sederhana namun relevan: saya memiliki tiga anak. Masing-masing dari mereka memiliki pengalaman, penglihatan, dan pendapat sendiri tentang siapa saya sebagai ayah dan bagaimana kisah keluarga kami berjalan. Bila masing-masing anak menuliskan versi sejarah keluarga berdasarkan perasaannya sendiri, maka akan muncul tiga versi sejarah yang berbeda: satu mungkin hanya melihat kekurangan saya, satu mungkin terlalu memuja, dan satu lagi mencampuradukkan fakta dengan persepsi. Lalu versi mana yang benar? Mana yang harus diwariskan ke cucu-cucu saya nanti?

Sebagai ayah, saya tentu merasa bahwa saya yang paling berhak menuliskan sejarah keluarga besar Umar Wachid B Sudirjo. Anak-anak boleh berbeda pandangan, boleh berdiskusi, boleh mengembangkan tafsir — tetapi bukan untuk menggantikan tulisan pokok yang saya buat berdasarkan pengalaman langsung. Demikian pula dengan sejarah bangsa ini. Sejarah Indonesia adalah warisan dari generasi perintis, yang mengalami penjajahan, kemerdekaan, dan perjuangan membangun negeri. Mereka yang hidup dan berkorban dalam masa-masa genting itulah yang seharusnya menuliskan sejarah utama bangsa ini.

Bahaya dari penulisan ulang sejarah adalah munculnya distorsi. Tafsir baru bisa membawa bias politik, ideologi, atau bahkan kepentingan asing yang menyusup melalui warga negara baru yang tidak memahami semangat asli bangsa ini. Sejarah bukan sekadar opini atau ruang demokratisasi narasi; ia adalah catatan kolektif yang membentuk identitas bangsa. Bila narasi itu terus diubah, maka generasi mendatang akan tumbuh dalam kebingungan, tanpa tahu siapa dirinya dan dari mana asalnya.

Lebih dari itu, penulisan ulang dapat dijadikan alat kuasa oleh kelompok tertentu untuk memanipulasi kebenaran demi kepentingan sesaat. Sejarah menjadi medan perang narasi, bukan sarana pembelajaran. Maka, menjaga keutuhan narasi sejarah bukanlah tindakan konservatif, melainkan upaya menjaga kesinambungan jati diri bangsa.

Saya tidak menolak ruang diskusi dan perbedaan pandangan. Perdebatan sejarah tetap penting, tapi tempatnya adalah ruang akademik, bukan dalam buku ajar sekolah. Pendidikan harus berdiri di atas narasi sejarah yang konsisten dan kuat, bukan yang selalu berubah-ubah mengikuti arus zaman. Sejarah harus menjadi jangkar, bukan layar yang ditiup angin semaunya.

Mari kita jaga warisan sejarah bangsa ini seperti kita menjaga nama baik keluarga. Biarkan wacana dan tafsir berkembang, tetapi tetap berpijak pada tulisan induk yang ditulis oleh generasi pelaku sejarah. Bila tidak, kita akan kehilangan pegangan, dan bangsa ini akan menjadi seperti rumah tanpa fondasi: besar, tapi rapuh; megah, tapi mudah runtuh. Kita harus menyadari bahwa melestarikan sejarah adalah bagian dari menjaga kedaulatan bangsa itu sendiri.

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |