Menjadi Guru yang Pandai Bersyukur: Kunci Menyalakan Cahaya dalam Keterbatasan

20 hours ago 6

Image Odjie Samroji

Guru Menulis | 2025-06-13 17:11:10

Foto Seorang Guru sedang mengajar | Foto : Author

Di tengah derasnya arus zaman, di saat profesi lain tampak begitu menjanjikan, menjadi guru kadang terasa seperti pilihan yang tak populer. Gaji tak seberapa, kerjaan menumpuk, kadang dihormati, kadang disepelekan. Tapi justru di sanalah letaknya kemuliaan. Dan salah satu bekal paling penting agar tetap kuat dan bahagia menjalani peran ini adalah: syukur.

Guru yang bersyukur bukan berarti guru yang hidup tanpa masalah. Justru sebaliknya, ia seringkali berada dalam situasi yang menuntut ketegaran mulai dari siswa yang sulit diatur, beban administrasi yang menyita energi, hingga tuntutan dari orang tua dan lembaga yang kadang tak selaras dengan realita di lapangan. Namun di tengah semua itu, guru yang pandai bersyukur mampu melihat cahaya kecil yang terus ia jaga agar tak padam: semangat anak-anak untuk belajar, senyum tulus mereka saat memahami pelajaran, dan kepercayaan masyarakat terhadap peran pendidikan.

Bersyukur adalah seni memaknai hidup dengan hati. Guru yang bersyukur tidak akan mudah goyah hanya karena keterbatasan fasilitas atau minimnya pujian. Ia tahu bahwa yang ia lakukan bukan hanya soal nilai di rapor, tapi nilai dalam kehidupan. Ia sadar, hasil dari didikannya mungkin tidak terlihat hari ini, tapi akan tumbuh menjadi pohon kehidupan di masa depan. Lihatlah, begitu banyak tokoh hebat yang tumbuh dari sentuhan seorang guru yang tulus dan bersyukur.

Guru yang bersyukur juga tidak akan membandingkan nasibnya dengan profesi lain. Ia tak silau pada pencapaian orang lain, karena ia tahu bahwa tiap orang punya ladang amalnya masing-masing. Ia memilih untuk fokus pada ladangnya sendiri menanam ilmu, menyiram akhlak, dan memanen doa-doa tulus dari para murid.

Lebih dari sekadar ilmu, seorang guru yang bersyukur juga mengajarkan keteladanan. Ia hadir bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai panutan. Murid tidak hanya belajar matematika atau bahasa darinya, tapi juga belajar cara bersikap, menghadapi hidup, dan bersyukur dalam segala keadaan. Inilah yang akan membekas dalam hati para murid jauh lebih lama daripada pelajaran di papan tulis.

Di era digital ini, kita sering kali terpaku pada kecepatan dan hasil instan. Tapi menjadi guru adalah proses yang tidak tergesa. Ia adalah tentang membangun karakter, bukan sekadar mencetak nilai. Maka guru yang bersyukur akan menikmati setiap proses, bahkan ketika hasilnya belum terlihat. Karena ia yakin, setiap peluh yang jatuh, setiap kata yang diucapkan, setiap doa yang disisipkan dalam diam, tidak akan sia-sia di hadapan Tuhan.

Mari kita menjadi guru yang bersyukur. Karena dengan syukur, beban terasa ringan. Dengan syukur, keterbatasan menjadi ladang kreativitas. Dan dengan syukur, profesi ini menjadi lebih dari sekadar pekerjaan ia menjadi pengabdian yang abadi.

"Guru yang bersyukur tak hanya mencerdaskan muridnya, tapi juga menenangkan jiwanya sendiri."

Disclaimer

Retizen adalah Blog Republika Netizen untuk menyampaikan gagasan, informasi, dan pemikiran terkait berbagai hal. Semua pengisi Blog Retizen atau Retizener bertanggung jawab penuh atas isi, foto, gambar, video, dan grafik yang dibuat dan dipublished di Blog Retizen. Retizener dalam menulis konten harus memenuhi kaidah dan hukum yang berlaku (UU Pers, UU ITE, dan KUHP). Konten yang ditulis juga harus memenuhi prinsip Jurnalistik meliputi faktual, valid, verifikasi, cek dan ricek serta kredibel.

Read Entire Article
Politics | | | |